Anak-anak sebagai Penonton
Anak-anak sebagai Penonton
oleh Ekky Imanjaya
Redaktur Rumahfilm.org, Amsterdam
Belasan anak-anak usia SD berlomba mengacungkan tangan dengan penuh antusias, hendak bertanya kepada Hana Makhmalbaf tentang film yang baru ditontonnya, Buddha Collapse out of Shame. Pertanyaan-pertanyaan mereka sangat kritis. Dengan sabar, putri bungsu Mohsen Makhmalbaf yang baru berusia 18 itu menjawab pertanyaan. Satu terjawab, puluhan jari-jari mungil kembali diacungkan, menyerangnya. Masih dengan pertanyaan yang kritis.
“Mengapa kamu memilih karakternya memakai topeng kertas? Itu mengingatkan saya pada penjara Abu Ghayrab?”
“Berapa umur si protagonis? Bagaimana kamu mempersiapkan dia untuk adegan-adegan ‘sadis’?”
“Publik seperti apa yang diinginkan film ini? Apakah memang untuk anak-anak?”
Tentu saja ada pertanyaan lugu seperti:
“Apakah ada orang yang tinggal di gua lokasi syuting film ini?”
“Bagaimana dengan bayi yang ada di scene awal? Apakah dia selamat?”
“Mengapa filmnya lama sekali?”
Di tempat lain, masih di acara yang sama, Liew Seng Tat yang hadir bersama film Flower in the Pocket, dikejar-kejar, juga oleh anak-anak 6-14 tahun, untuk diajak berfoto bersama dan dimintai tanda tangannya. “Wah, Seng Tat jadi bintang, nih,” ungkap seorang temannya. Tak jauh dari situ, belasan penonton cilik menulis resensi di formulir yang sudah disediakan, banyak yang menulis sambil tiarap di ubin. Inilah pemandangan lazim pada Berlinale International Film Festival awal tahun ini. Mungkinkah ini terjadi di Indonesia?
Sebelum membahas tentang nasib penonton anak-anak di Indonesia, saya hendak berbagi pengalaman menonton film di Eropa. Belanda, misalnya, amat menaruh perhatian terhadap kaum minoritas, termasuk anak-anak. Lihat saja, di buletin dan pengumuman berbagai bioskop Pathe, sinepleks terbesar di sana, mereka selalu menyelipkan program khusus untuk anak-anak. Khusus film bagi anak-anak ini, biasanya ada dua versi: O.V. ( Original Vertie ) dan NL (sudah disulihsuarakan menjadi berbahasa Belanda). Ini berlaku untuk semua film, mulai dari Narnia, Horton, Wall-E, hingga Nim’s Island .
Untuk film produksi dalam negeri, musim panas tahun ini mereka punya Piet Piraat & het zwaard van Zilvertand (Bart van Leemputten) dan De brief voor de Koning (Pieter Verhoeff). Beberapa bulan sebelumnya, ada film Waar is het Paard van Sinterklaas? ( Mischa Kamp) dan Dunya & Desi, (Eva van de Wijdeven dan Maryam Hassouni) . Memang, mereka hanya punya sedikit film khusus anak-anak-anak, tapi bahkan bioskop komersial mereka punya program khusus untuk mereka.
Maka tak heran bila puluhan anak-anak mengantre untuk Kungfu Panda, misalnya. Anak-anak berlarian ke sana kemari, bersama rekan-rekannya, bikin ulah, dan aktivitas anak kecil lainnya. Tentu saja, akan banyak yang bilang: “Lha, di Indonesia, saat liburan, banyak juga kok anak-anak yang ke bioskop?” Oke, saya setuju. Tapi, itu kan memang sudah alamiah, kalau ada film yang ditujukan untuk mereka, anak-anak (acap bersama orang tuanya) akan bergegas ke sinema.
Tapi, apakah bioskop atau distributor atau organisasi perfilman kita pernah berpikir untuk membuat acara rutin yang berfokus pada mereka? Tidak usah film bermutu mesti diputarkann Film animasi umum sajalah, atau film arusutama keluaran Hollywood yang diperuntukkan bagi anak-anak atau keluarga. Sepertinya jarang. Dan berapa banyak film anak-anak produksi lokal yang hadir? Mari kita tengok di era Reformasi saja.
Tahun ini ada Liburan Seruuu...!! (Sofyan de Surza). Selebihnya, didominasi horor atau komedi dewasa. Kita hitung mundur. Ada Anak-Anak Borobudur (2007, Arswendo Atmowiloto), Denias, Senandung di Awan (2006, John de Rantau), Untuk Rena (2005, Riri Riza, 2005), Ariel dan Raja Langit (2005, Harry Dagoe Suharyadi), Rindu Kami Pada-Mu (2004, Garin Nugroho), Bendera (2002, Nan Achnas), Janus Prajurit Terakhir (2002, Chandra Endroputro), Viva Indonesia (2001, Ravi L. Bharwani Aryo Danusiri Asep Kusdinar Lianto Luseno Nana Mulyana), dan yang paling fenomenal, Petualangan Sherina (1999, Riri Riza).
Sebagian dari film itu hanya bertahan beberapa hari saja di bioskop. Ada juga Tina Toon & Lenong Bocah the Movie (2004, Aditya Gumay), Petualangan 100 Jam (2004, Winaldha Melalatoa), Petualangan Trio Penjelajah Dunia (2000, Eko Kusumo Nugroho), Joshua oh Joshua (Edward Sirait, 2000). Kurang dari 15 judul dalam kurun waktu 10 tahun. Apakah ini cukup? Dan kita belum lagi bicara urusan mutu.
Kembali ke Festival Film Berlinale. Penyelenggara festival film semacam Berlinale bahkan bertindak lebih jauh lagi. Mereka melakukan literasi film secara berkala untuk anak-anak. Berlinale, misalnya, membuat program khusus, Generation untuk usia SD dan Generation K-plus untuk usia SMP dan SMA. Ada juri-juri dari kalangan anak-anak sendiri yang memilih film terbaik (fitur dan pendek) bertajuk The Crystal Bear for the Best Feature Film. Tahun ini, anugerah itu dimenangkan oleh Buda Az Sharm Foru Rikht oleh Hana Makmalbaf (Iran/Prancis, 2007) dan Nana (Warwick Thornton, Australia, 2008). Mereka tampil ke depan panggung, membacakan pemenangnya, sebagaimana juri-juri dewasa.
Juri dewasa yang terlibat pun berkelas: Yasmin Ahmad, Anna Justice, Omri Levy, dan Antonia Ringbom, yang memberikan The Deutsche Kinderhilfswerk Grand Prix kepada TOUS A L’OUEST! Une aventure de Lucky Luke (Olivier Jean-Marie, France, 2008) dan film pendek Min morbror tyckte mycket om gult (Mats Olof Olsson, Swedia, 2008). Tempat mereka dipisahkan dari acara utama, tepatnya di Zoo Palast, Berlin Barat.
Festival Film Internasional Rotterdam juga memunyai para juri muda, namun memang seusia anak SMA. Mereka memberikan MovieSquad Award kepada Persepolis ( Marjane Satrapi & Vincent Paronnaud, Prancis, 2007). Juga pernah ada program khusus anak-anak, misalnya How Are the Kids? pada 1997.
Bagaimana dengan Festival Film Internasional Dokumenter Amsterdam (IDFA)? Mereka punya program nonkompetitif dengan judul yang gamblang: Kids & Docs. Pada IDFA 2007 lalu, mereka menghadirkan 13 film, 5 di antaranya mengikuti lomba tahunan Kids & Docs Contest, bahkan dua film yang termasuk di dalamnya mengikuti kompetisi Silver Cub. Di ajang ini, film-film karya sutradara berusia 8-13 tahun diputar.
Amsterdam Fantastic Film Festival pun tak kalah. Mereka punya acara AFFF/Kids dan berpusat di Filmmuseum, terpisah dari wahana utama. Institusi penting lainnya adalah Cinekid yang menyelenggarakan festival film khusus anak-anak. Tahun ini, memasuki usia 22 tahun, festival itu akan diadakan pada 23-26 Oktober di Amsterdam, dan juga 30 lokasi satelit seantero Belanda. Cinekid Festival, demikian namanya, berfokus pada anak-anak dan media, khususnya film, televisi, dan New Media (artinya, termasuk video games! Tahun lalu pemenang pilihan penonton kategori ini adalah FIFA 2007 keluaran XBOX360!).
Setiap tahun, lebih dari 35 ribu anak-anak hadir dan mengapresiasi sekitar 200 produksi media yang terdiri dari film fitur, dokumenter anak-anak, film pendek, animasi, seri TV, produk lintas-media, instalasi interakatif, dan lokakarya. Kompetisinya memperebutkan Cinekid Lion. Juga ada Junior Film Market. Tujuannya: mempromosikan kualitas produksi media untuk anak, mengajak anak-anak dan anak muda untuk berpartisipasi di bidang media, dan memberdayakan anak-anak untuk berhadapan dengan kuantitas produksi media. Tahun lalu, pemenangnya adalah Max en ik (Anna Justice, Jerman, 2006).
Di Indonesia, penonton anak-anak tidak mendapatkan perhatian cukup. Kalau pun saat musim liburan mereka bergegas ke bioskop, mereka hanyalah memenuhi hasrat alamiah kanak-kanak mereka, menonton film-film yang mereka sukai –yang didominasi produksi Hollywood. Tidak jelek, memang. Tapi, itu artinya, tidak ada perhatian khusus yang terprogram untuk ini.
Sebenarnya, istilah “tidak ada perhatian khusus” bukanlah kata yang terlalu tepat. Misalnya, kita punya Jakarta International Film Festival yang pernah memutar film seperti Nyanyian Negeri Sejuta Matahari (Edwin, 2006). Juga ada program dari In-docs bernama In-Docs Junior Camp yang “…ditujukan bagi para siswa SMU yang ingin berkarya secara langsung untuk perubahan sosial yang positif di masyarakat,” yang dilakukan di Pulau Kelapa pada 2002 dan Bandung pada 2003. Salah satu pesertanya, Ratrikala Bhre Aditya, berhasil meloloskan filmnya, Bunga Dibakar ke Singapore International Film Festival 2006.
Tetapi, sekali lagi, apakah cukup?
Tentu saja ini adalah tugas semua orang. Tidak adil rasanya hanya bertumpu pada 2-3 organisasi atau festival film. Maka saya senang sekali saat di Berlinale ada pernyataan dari Nia Dinata untuk menggelar Indonesian International Children Film Festival (IICiFF) pertengahan tahun depan. Dan ada sinyal positif dari Menbudpar Jero Wacik yang meminta kalangan produser film dalam negeri untuk membuat film anak-anak.
"Pasar sudah meminta, jadi saya kira para produser tidak perlu ragu lagi untuk membuat film anak-anak," kata Menteri saat memberikan sambutan pada Peringatan Hari Film Nasional di kantornya, 30 Maret lalu—seperti tertulis di Antara. Acara itu juga berisi demonstrasi seribu anak-anak bersama orang tuanya yang mempertanyakan perfilman Indonesia.
Tentu saja, kita tidak harus bergantung pada siapa pun untuk membuat film atau program literasi film khusus anak. Atau, bisa juga kita mulai dari lingkungan terdekat kita sendiri: mengajarkan anak-anak kita untuk belajar mengapresiasi film, misalnya.
Source: rumahfilm.org

