![]() |
| Pelaut Bugis |
Secuil Perjalanan Suku Pelaut di Kalimantan
Orang Bugis - Gemar Mengarung Luas Samudera
Pura babbara' sompe'ku pura tangkisi' gulikku Ulebbirengngi telleng natoalie (layarku sudah kukembangkan, kemudiku sudah kupasang teguh, lebih baik tenggelam daripada surut langkah)
UNGKAPAN [berbahasa Bugis] di atas menggambarkan betapa teguh pendirian orang Bugis dalam meraih suatu tujuan. Dalam kehidupan sehari-hari, keteguhan itu tercermin dalam nilai budaya siri' yang menjadi pedoman hidup etnik Bugis. Bagi orang Bugis sendiri, siri' menjadi pandangan hidup yang wajib dipertahankan selama hidupnya, karena menyangkut martabat, juga harga diri.
Dalam melakukan pengembaraan siri' itulah yang menyemangati keteguhan hati orang Bugis hingga jauh ke negeri orang. Seperti diungkapkan Prof Dr Matulada, seorang antropolog di Universitas Hasanuddin juga mantan Rektor Universitas Tadulako --yang ahli mengenai Bugis, orang Bugis umumnya pantang kembali ke kampung halaman sebelum pengembaraannya berhasil. Jika itu dilanggar mereka dianggap melanggar siri', menurunkan martabat dan harga dirinya.
Adalah Pagatan [ibukota Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Kotabaru, Kalsel], salah satu di antara sekian banyak wilayah yang didiami orang-orang Bugis di perantauan. Di tempat ini pula setiap tahun hingga kini, dilaksanakan pesta laut nelayan-nelayan Bugis, yang kemudian lebih dikenal dengan Mappanre Tasi.
Menelusuri kembali hadirnya orang Bugis di Kalimantan, akan sama halnya dengan mengupas keberadaan salah satu kelompok etnik berasal dari Sulawesi Selatan itu dengan segala kegemaran dan keberaniannya mengarungi lautan.
Pinisi, misalnya, perahu tradisional orang Bugis [Makassar] sudah dikenal dalam lembaran sejarah sejak abad ke-15. Dengan perahu itulah para pedagang Bugis dan Makassar menjelajahi perairan kepulauan Indonesia, pelabuhan-pelabuhan penting Semenanjung Melayu, Sri Lanka, Filipina Selatan dan Australia bagian utara.
Dari berbagai catatan sejarah kehadiran orang Bugis di Pagatan berkaitan erat dengan terjadinya perang saudara antara kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo di wilayah Sulawesi Selatan pada tahun 1670.
Pada tahun itu, Tosora, pusat Kerajaan Wajo dihancurkan oleh La Tenritatatta' To Unru' Daeng Serang [bergelar Arung Palakka] dan sekutunya. Sejak saat itulah orang Wajo banyak yang berdagang dan berlayar ke Kalimantan [Pagatan, Kutai-Samarinda dan Pontianak], Jawa, Bima, Sumbawa, Malaka, Patani, Kamboja dll.
"Hampir 90 persen, orang Bugis di Pagatan itu berasal dari Wajo", kata H Andi Amrullah, salah seorang putra kelahiran Pagatan.
***
SELAIN wilayah Pagatan --sebagai tujuan orang Bugis di Kalimantan-- mereka cukup dominan di Kutai dan Samarinda [Kaltim]. Di kedua daerah ini mereka sangat akulturatif dalam berinteraksi dengan penduduk setempat. Hubungan yang istimewa itu sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Sultan Aji Imbut yang beristrikan Pua Abeng dari kerajaan Wajo.
Bahkan, atas saran-saran orang Bugis, Sultan Aji Imbut Muhammad Muslihuddin [Raja Kutai Kartanegara periode 1732-1782] memindahkan pusat pemerintahan dari Pamarangan ke wilayah dusun kecil bernama Tepian Pandan [kini Tenggarong]. Sejak kepindahan itu, atas gagasan Pua Ado La Tojeng Daeng Ri Petta [saudara sepupu istri Sultan Aji Imbut], wilayah itu dinamakan Tangga Arung, yang artinya rumah raja. Lama-kelamaan karena pengaruh logat penduduk setempat, sebutan itu berubah menjadi Tenggarong.
Sebelum dipindahkan ke Tenggarong, harta pusaka Kerajaan Kutai Kertanegara berupa guci, gong Raden Galuh, raga mas banyak dirampas bajak laut. Namun, setelah 40 tahun, benda-benda tersebut dikembalikan ke Kerajaan Kutai dan disimpan dalam sebuah kelambu kuning sebagai benda keramat yang mengandung nilai magis-religius.
Untuk menjaga keamanan Sultan Aji Imbut, akhirnya Pua Ado La Tojeng Daeng Ri Petta menempatkan 200 orang Bugis yang dikepalai adik iparnya, Kapitan La Hapide Daeng Parami dan Anderi Guru La Makkasau Daeng Mappuna.
Berkat bantuan orang-orang Bugis itulah akhirnya Tenggarong berkembang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Kertanegara hingga pemerintahan terakhir Sultan Aji Muhammad Parikesit.
***
WAKTU pemerintahan RIS [Republik Indonesia Serikat] berlaku, tahun 1940-an, Kalimantan terbagi dalam beberapa negara bagian, di antaranya Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Banjar dan Dayak Besar.
Adanya negara bagian Kalimantan Tenggara [Pagatan-Kotabaru], Kalimantan Timur [Kutai-Samarinda] dan Kalimantan Barat [Pontianak], juga menjadi salah satu bukti betapa wilayah ini dulunya telah berpenduduk relatif padat. Sebagian besarnya berasal dari orang-orang Bugis [etnik Wajo] yang telah lama menetap dan mencari nafkah di sana.
Menurut keterangan orang-orang Bugis di Benut, Johor Malaysia [tahun 1977], orang-orang Bugis di Pontian, Malaysia Barat, lebih dari 99 persen berasal dari etnik Wajo. Begitu pula di Pagatan, Pontianak, Samarinda, Riau, Kendari dan Jambi, orang Bugis di daerah ini lebih banyak berasal dari Wajo.
Dalam bukunya Wajo Abad XV-XVI, Prof Mr Dr Andi Zainal Abidin menyebutkan, dulu sikap orang Wajo sangat mementingkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidupnya. Apabila mereka kurang merasakan kemakmuran dalam hidupnya, mereka pun tak segan-segan merantau ke daerah lain, berkelana mencari penghidupan baru.
Apa yang tergambar dari sikap-tradisi orang Wajo di atas, juga tampak pada [sebagian] masyarakat Wajo di Pagatan, yang kini telah banyak berhasil meraih sukses di kampung orang. Sedangkan Pagatan [Kecamatan Kusan Hilir] yang saat ini cuma berpenduduk 17.523 jiwa itu, lebih terasa hanya sebagai 'saksi sejarah' kegigihan orang Bugis-Wajo dalam 'pengembaraannya' untuk meraih cita-cita.
Zaman keemasan perahu pinisi memang 'telah berlalu'. Namun semangat yang diberikan oleh perahu itu masih melekat di setiap dada orang Bugis.
Begitu pula orang Bugis di Pagatan, hal itu --sedikitnya-- telah terekam lewat pelaksanaan Mappanre Tasi. Mengungkapkan rasa syukur kepada yang Kuasa, agar laut tetap bersahabat dan memberi yang terbaik buat mereka.

