Cerpen: Kun Fayakun

    kun fayakun

    Kun Fayakun


    "Inikah derita panjang yang mesti kujalani? Nestapa mengusik jiwa, sepi menohok luka, umpat dan cela kian merajut hari-hari derita yang memanjang. Oh, kemana lagi kaki ini akan melangkah, padahal dunia memang tidak bertepi," kesah Maryam sambil berurai airmata. Hatinya lara gundah gulana. Pilu yang dalam terpacak sungguh di wajahnya.


    "Enyahlah engkau Maryam perempuan sundal, perempuan serong! Jangan membawa petaka di tempat suci. Pergilah kau beserta dosa-dosa dalam perutmu, orang-orang mencibir ketika mengetahui Maryam memendam janin. Bagaimana mungkin seorang perempuan bisa hamil tanpa lelaki, kalau tidak main-main dengan lelaki. Siapa lelaki pengecut yang demikian tega membiarkan Maryam terperangkap dalam rana tak terperikan?


    Caci dan maki mengalir tak henti-hentinya atas diri Maryam. Yang perempuan mengutuk, mencibir, merasa dirinya suci. Yang lelaki menghardik, mengancam terhadap malapetaka yang akan menimpa. Padahal itu nyata ulah lelaki.


    Pergilah Maryam dengan segala beban jiwa bersama kandungannya ke tempat yang jauh lagi sunyi. Berhari, berminggu hingga bulan berganti tahun, centang perenang. Langkahnya terantuk-antuk menembus badai, di bawah terik matahari yang garang membakar. Debu-debu pun berkepulan karena langkah yang tinggal terseret. Haus dan lapar sudah tak tertahankan, mengerang mencekik dahaga.


    "Duh alangkah baiknya bila nyawaku dicabut sekarang juga. Pupuslah segala derita, sirnalah segala keanehan atas diriku. Tangisku hanya menambah dahaga belaka karena jiwa yang merana," sedu sedan Maryam.


    Suaranya lemah saking putus asa. Jabang bayinya menendang-nendang minta keluar buru-buru. Maryam berhenti ketika rasa sakit sudah sekitar paha, duduk bersandar di pohon kurma. "Oh, matilah aku sekarang saja," rintihnya lagi.


    Tapi tiba-tiba terdengar suara menggema menyuruh agar Maryam jangan berduka hati, karena Tuhan telah menjadikan sumber air di sisinya. Pohon kurma pun menggugurkan buahnya yang ranum dan manis ke pangkuannya. Konon, panas matahari yang garang berubah teduh, awan berarak memayunginya. Marga satwa sejagat mengalunkan doa-doa. Duh Maryam putri Imran, buah hati Zakaria ayahanda Yahya, perempuan perkasa yang melahirkan Isa di bawah pohon kurma.


    Sampai waktunya tiba Isa terlahir --suara itu terus bergema memerintahkan Maryam jangan terlalu bersedih. Bilamana ada Maryam bertemu dengan seseorang, maka katakanlah: "...... sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Esa lagi Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini!" demikian perintah-Nya.


    Selang beberapa waktu kemudian, setelah kekuatannya pulih, Maryam membawa bayi Isa yang masih merah berbau segar dalam dekapannya kembali ke tengah kaumnya. Langkahnya mantap, jiwanya tegar, hatinya khusuk tak henti-henti menyanyikan zikir bagi Illahi Rabbi. Tapi perempuan-perempuan itu tetap saja mencibir dan menghinanya sementara yang lelaki berseru: "Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pelacur!" Maryam mengunci lidah diam seribu aksara, sembari memberi isyarat kepada mereka untuk bertanya kepada bayi dalam dekapannya.


    "Bagaimana mungkin kami dapat bercakap-cakap dengan bayi merah berbau segar itu?" tanya mereka tak habis pikir. Sekonyong-konyong bayi itupun berkata-kata. Mereka tak urung berdecak takjub. Senyaplah suara mereka. Tak terdengar lagi umpat cela, caci maki, perempuan yang mencibir membisu. Amuk pun mencekam menebar sepi.


    "Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia menurunkan kepadaku Al Kitab, Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku shalat dan zakat selama aku hidup!"


    Dialah Al Masih, Isa anak Maryam. Rasul Allah dan kalimah-Nya, yang mengatakan perkataan yang benar kepada mereka. Karena kejadian yang "lita 'ajubiyah" itu, ada yang mengucek-ucek matanya, berharap semua itu cuma halusinasi. Ada yang mencubit-cubit kulit lengannya, karena tak percaya dan menduga itu hanya mimpi di siang bolong. Ada lagi yang menggigil gemetaran, terlengak akibat rasa takut yang amat sangat. Tapi semua itu adalah nyata terjadi. Bukan mimpi, bukan halusinasi, bukan kamuflase.


    "Dan berbakti kepada ibu, dan Dia telah menjadikan aku seorang yang tidak sombong dan celaka," bayi Isa itu kembali berkata. "Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dibangkitkan dan hidup kembali. Jangan kamu katakan Allah itu tiga. Berhentilah! Itu lebih baik bagi kamu. Sesungguhnya Allah itu Tuhan Yang Maha Esa. Maha Suci Ia daripada mempunyai anak. Kepunyaan-Nya belaka, segala apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Apabila Ia menetapkan sesuatu, cukuplah Dia berkata: "Jadilah!", maka jadilah segalanya. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus!"


    Bak tersadar dari mimpi buruk sepanjang malam, mereka mulai bisa berkata-kata. Perempuan-perempuan yang mencaci, insyaflah, hatinya malu bukan main. Maryam ternyata bukan sekeji yang mereka duga. Terlalu kudus bagi hati mereka yang dengki.


    Maryam pun berlalu beranjak pergi meninggalkan mereka. Hatinya tenteram, langkahnya ringan. Nafasnya lega, terlepas segala beban. Ucap syukur tertuju kepada Tuhan Maha Pengasih. Puji timang tertuang bagi bayi tersayang. Diciumnya Isa dengan segala kehangatan kasih seorang ibu. Dan tinggallah mereka saling berbantah-bantahan.


    ***


    "Indah nian ceritamu, hai Abid. Dari mana kau dapat


    kan semua itu?" tanya Ablasa ketika sang Abid sudah mengakhiri ceritanya. Begitu mengesankan cerita itu buat Ablasa, banyak terkandung makna dan keajaiban.


    "Dari orang yang tahu dan dipercaya. Pernah juga aku membacanya. Adakah yang menarik hatimu?"


    "Yah, terkadang aku jadi berpikir tentang kejadian manusia. Sampai suatu ketika aku berpendapat bahwa ayah dan ibuku yang telah melahirkanku pada hakekatnya tidak ada! Kalau pun ada, hanyalah simbol belaka, agar kita tidak terlalu asing dan merasa misterius memikirkan dari mana dan oleh siapa kita tercipta."


    "Agak aneh juga pikiranmu itu, Ablasa," sanggah Abid. "Apa tidak terlalu cepat kau memberikan kesimpulan?"


    "Bukankah kau pernah berkata kepadaku, Abid, bahwa di akhirat kelak kita akan nafsi-nafsi, asing satu sama lain. Aku adalah aku. Kau adalah kau. Aku bercermin pada kacaku, dan kau berkaca pada cerminmu. Semua muda, kita sebaya. Teman kita yang ada cuma dosa dan pahala. Tempat kita surga atau neraka. Begitu katamu dulu kepadaku. Maka menurutku, bila manusia tercipta, detik itu juga ia harus bertanggung jawab pada segala alam yang akan dilaluinya. Sebab, adanya dia tercipta adalah adanya dia di dunia, adanya dia di barzah, adanya dia di akhirat kelak. Begitu kita berada, kita tak akan dapat menghapuskan keberadaan itu sendiri!" Abid manggut-manggut, entah memahami atau malah tidak mendengar pemaparan Ablasa.


    "Dan Isa lahir lantaran perbuatan Tuhan, bagai seorang lelaki menanamkan benih pada rahim perempuannya. Jadilah ia anak Tuhan. Begitu sebagian manusia berkeyakinan, dan segolongan lagi menganggap nista, kalau Tuhan sampai beranak. Karena tunduknya manusia terhadap Tuhan, tidaklah sampai ke tingkat melenyapkan kedudukannya sebagai manusia yang serupa dengan itu," papar Abid panjang lebar.


    "Lalu jika Tuhan beranak, mengapa cuma satu? Dan kepada Maryam saja Dia tanamkan benih dalam rahimnya yang hangat?" Abid memprotes segolongan menusia itu.


    "Tapi kau sendiri kan juga pernah menceritakan kepadaku, bahwa Tuhan itu Esa, baik dalam zat, sifat atau pun af'al-Nya. Esa-Nya Tuhan menafikan segala jisim. Lalu kau juga pernah mengatakan kalau Tuhan mempunyai banyak asma dan berpuluh-puluh sifat, bagaimana itu?" tukas Ablasa dengan suara yang agak ditekankan.


    "Ya benar. Tuhan itu Esa baik dalam zat, sifat dan af'al-Nya. Sebagai contoh: Tuhan mempunyai asma Ar Razak --yang memberi rezki, Tuhanlah yang memberi rezki kepada seluruh makhluk di alam ini, kendati ada orangtua yang menghidupi anak-anaknya dengan hasil jerih payahnya sendiri. Namun, pada hakekatnya Tuhanlah yang Maha memberi rezki kepada semua hamba-Naya. Inilah yang dinamakan Esa-Nya Tuhan dalam af'al."


    "Jadi, Esa-nya Tuhan itu adalah wujudnya sebagai pokok atau asal dan sumber segala sesuatu pada hakaketnya," Ablasa menimpali.


    "Benar. Kau sendiri lahir dari mana?" Abid bertanya.


    "Seorang perempuan, ibuku!"


    "Sebab apa kau lahir?"


    "Seorang laki-laki, bapakku menanamkan benih di rahim ibuku suatu malam."


    "Lalu kenapa kau lahir?"


    "Karena aku memang harus dilahirkan!"


    "Dan bila ditanya, mungkinkah seekor burung jantan di angkasa raya menanamkan benihnya pada seekor ikan betina di dasar lautan yang dalam, hingga tercipta makhluk yang baru. Apa jawabmu, Blas?"


    "Tidak wajar!"


    "Alasannya?"


    "Dari burung menetaslah burung. Dari ikan menetaslah ikan."


    "Jika terjadi juga, bagaimana?"


    "Tidak wajar," Ablasa bersikukuh.


    "Ya, tidak wajar. Terkadang kita jadi asing pada ketidakwajaran, Blas. Khayalan-khayalan pun jadi tak berguna untuk menjawab kenyataan. Segala tafsir kehilangan makna, tenggelam di dasar kemustahilan dan keanehan pikiran kita masing-masing."


    "Yah, umpama burung menanamkan benih pada perut ikan betina, kalau Tuhan benar-benar menanamkan benih kelahiran tanpa percampuran benih berlainan?"


    "Allahu Akbar! Allah Maha Besar. Pepohonan mengawinkan dirinya sendiri, keluarlah buah yang ranum manis terasa, amuba dan plankton membelah dirinya, maka jadilah sesuatu yang baru, yang akan membelah dirinya kembali, hingga kehidupan berkelanjutan, bertambah banyak."


    "Mustahilkah itu?"


    "Wajar bagi amuba dan plankton."


    "Kalau ada manusia dilahirkan bagai amuba dan plankton membelah dirinya, apakah ia anak amuba dan anak plankton? Atau anak Tuhan?"


    Demikianlah: Maka pikiran-pikiran dibuntukan, segala tafsir kehilangan makna, khayalan-khayalan menerawang tak menemukan bentuk, lantaran manusia kelewat yakin kepada keajaiban dan misteri yang menyelubungi dirinya dari waktu ke waktu.


    Jadi bila si Ablasa atau Abid bertanya kepadamu, kenapa kau dilahirkan, jawablah: "Karena aku memang harus ada!" Setelah itu segeralah pergi. Kau akan menemukan kemisteriusan dirimu belaka. Lagipula mereka berdua selalu bertafsir tanpa makna.


    Namun asal kau tahu:


    Ketika orang-orang menghentikan kendaraannya di perempatan-perempatan jalan raya, sewaktu lampu pengatur lalu lintas menyala merah, padahal pada cahaya lampu itu tak ada tulisan atau kata apa pun, bahkan tak ada bunyi dan isyarat yang menyuruh mereka supaya berhenti. Satu ciptaan manusia yang dha'if yang mampu menumbuhkan keyakinan manusia lainnya hingga patuh dan mau menerima kenyataan keberadaan itu. Apatah lagi halnya dengan kalam Tuhan yang kadim lagi azali --yang tak ber-ta'alluk kepada segala jisim --tanpa huruf, tanpa kata dan tanpa bunyi.


    Ketika Tuhan meletakkan ayat-Nya dalam perut Maryam, lahirlah Isa. Kupu-kupu dan kumbang memberitakan ayat Tuhan kepada bunga. Kupu-kupu pun menari lemah gemulai, menyanyikan ayat Tuhan, timbullah suka cita, buah yang ranum lagi manis.


    Lantaran kalam-Nya terjatuh ke tengah samudra luas, berbiaklah isi samudra. Menetaslah ikan-ikan. Amuba dan plankton pun membelah dirinya. Kemudian, cobalah diingat kembali. Ketika suatu malam, entah pabila, saat seorang lelaki mengalunkan ayat Tuhan ke telinga perempuannya. Di tengah kegelapan penuh kehangatan, ayat itu disimpannya. Hari berlalu, munggu berganti, bulan bertukar hingga suatu saat kun fayakun! Lahirlah Anda!


     

    Cerpen Aliman Syahrani

    LihatTutupKomentar