Mengangkat Dongeng Rakyat
oleh Anggraini Antemas
Mengangkat Dongeng Rakyat - Di tahun 1960-an, ketika masyarakat pembaca Indonesia sedang kecanduan dengan buku-buku cerita silat ala Cina, di antaranya yang ditulis oleh Asmaraman Kho Ping Hoo, sempat orang melontarkan cemoohan kepada dongeng. Baik dongeng yang telah dibukukan maupun dongeng yang dituturkan secara lisan.
“Dongeng itu bohong semata”, kata penggemar cerita silat, padahal ia tak menyadari kalau kisah silat itu pun juga dongeng, malah bernuansa Cina yang bukan budaya Indonesia.
Bukan fakta
Bagi masyarakat modern, perkataan dongeng atau legenda, bisa menjelma menjadi suatu hal yang menertawakan, sehingga untuk menyatakan apriorinya, mereka selalu melecehkan “ah... itu dongeng, bukan fakta”.
Keadaan yang tak menggembirakan ini berlangsung terus sampai saatnya penerbitan buku-buku bacaan berdasarkan instruksi presiden (inpres) di tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, yang sebagian besar isinya bermuatan dongeng yang berasal dari berbagai pelosok Nusantara ini, sehingga anggapan tersebut agak mengendor.
Penyebabnya mungkin para pakar pendidikan dan ilmu jiwa anak-anak yang selalu memberikan pengertian, bahwa anak-anak jangan dijejali pelajaran semata, misalnya matematika, ilmu alam, ilmu bumi dan tumbuhan saja, tetapi dongeng juga mempunyai nilai penting untuk membentuk pribadi dan jatidiri mereka.
Jiwa anak-anak yang masih bersih dan polos, akan dengan mudah menyerap nilai-nilai budi pekerti yang diinginkan orang tuanya, melalui cerita dongeng, meski pun dongeng telah diketahui adalah bohong-bohongan dan tak masuk akal orang dewasa.
Pengantar tidur
Kalau cerita anak-anak durhaka kepada ibunya semacam Malin Kundang, Raden Panganten, Si Angui, Si Kantan dan sejenisnya, di mana si pendurhaka dikutuk menjadi batu, telah banyak diketahui dari generasi ke generasi. Cerita itu tak masuk akal, tetapi kok ada ‘buktinya’ kapal batu, manusia batu dan serba batu. Benar tidaknya cerita itu terserah pada ‘orang dewasa’, karena itulah dongeng.
Namun bagi anak-anak seusia SD, mereka percaya bahwa itulah hukuman kutuk atas anak-anak yang mendurhakai ibunya. Dengan air mata berlinang si bocah mendengarkan tuturan ibu atau neneknya tentang kesedihan dan penyesalan anak durhaka itu sebelum ia menjadi batu. Cerita tersebut—walaupun dongeng—sangat berkesan di hati anak untuk tidak mencontohnya.
Dongeng yang menyedihkan, memilukan, mengerikan, menggembirakan, menghibur dengan lucu dan kocak, ternyata sanggup memikat perhatian anak-anak. Tambah efektif lagi apabila ia diceritakan secara lisan dengan tuturan dan irama yang khas, bernuansa kasih sayang, yang pada akhirnya anak akan tertidur nyenyak dibuai mimpi.
Dongeng lain misalnya, di kala dunia ini banjir besar di hari kiamat, anak-anak yang pandai mengaji membaca Alquran dan pandai shalat, akan terhindar dari kekejaman banjir tersebut. Mereka akan naik perahu (penjelmaan dari kitab sucinya) yang di atasnya beratapkan Alquran pula.
Namun anak dungu yang tak bisa membaca kitab suci itu akan diombang-ambing gelombang yang menggunung, tanpa ada pertolongan dari siapa pun. Begitu ngeri dan memilukan, sehingga cerita dongeng tersebut mendorong anak gemar shalat dan mengaji Alquran.
Dampak dari kedua dongeng di atas dapat dipetik positifnya, bahwa anak tidak akan mendurhakai ibunya, di samping ia juga akan bergairah menjadi anak shaleh dan pencinta Alquran.
Ratusan dongeng asli
Dengan kata lain bahwa pesan-pesan yang bernilai etika, keagamaan, sosial kemasyarakatan, sangat efektif bagi pembinaan kepribadian anak-anak. Hal ini tak mungkin dicapai melalui pelajaran yang terbatas pada kurikulum yang menjadi arahan para guru. Dan lebih jauh lagi, cara mendongeng demikian tidak mungkin dilakukan oleh orang tua yang selalu sibuk dan tak ada waktu untuk anak-anaknya.
Masyarakat di luar negeri sudah sejak dulu telah memanfaatkan dongeng sebagai sarana pendidikan pribadi dan jati diri anak-anak mereka. Cerita dongeng luar negeri yang terkenal sejak abad lalu, di antaranya Alfu Laila Walaillah (Seribu Satu Malam) dari Persia (Irak sekarang), Den Grimme Aelling (Anak Itik yang Jelek) karya Christian Andersen/Denmark, Pancatantra dari India, La Fontaine dari Perancis dan lain-lain.
Sedang di Nusantara Indonesia cukup banyak dongeng dan fabel sebagai warisan nenek moyang, baik yang telah dibukukan, mau pun yang masih tersebar di masyarakat sebagai dongeng lisan, misalnya Serial si Kancil yang Cerdik, Datu Insat, Datu Dulung, Liang Kantin, Dapur Sa-atang, bukan hanya puluhan tetapi ratusan dogeng yang bernilai budaya asli Indonesia.
Fantastis
Hampir semua bangsa di dunia memiliki cerita dongeng atau legenda. Ia tercipta dari hasil kepercayaan rakyat, meski pun fantastis, namun ia tetap mengandung sifat-sifat kemanusiaan yang murni. Isi dongeng mudah dipahami dan mengasyikkan dan menyenangkan hati anak-anak.
Kini dalam gencarnya serbuan berbagai dongeng asing yang diimpor masuk ke tanah air kita melalui tayangan televisi, cukup meresahkan para orangtua. Anak-anak kita telah dicekoki dongeng-dongeng modern buatan luar negeri yang tidak sesuai dengan kepribadian kita. Kecanduan anak-anak itu semakin marak sehingga mengganggu saat-saat bermain dan belajar sepulang sekolahnya. Lebih fatal lagi kalau anak-anak itu terpengaruh / meniru perilaku sang idolanya di layar TV, yang berkelahi, tawuran, merampok dan tindakan-tindakan kriminal. Perilaku anak-anak bertambah brutal dan ada gejala kemerosotan moral yang memprihatinkan.
Jalinan kasih sayang
Beberapa pakar dari Universitas Indonesia, Gajah Mada, IKIP Jakarta, melalui pertemuan di Bandar Lampung beberapa waktu lalu membicarakan keprihatinan perilaku anak-anak Indonesia yang dilanda dongeng impor via TV itu. Mereka adalah Dr Hera Lestari Mikarsa, Dr Riris Toha Sarumpaet, Drs J Drost dan beberapa ahli lainnya berkesimpulan bahwa orang tua modern perlu belajar mendongeng untuk anak. Karena melalui dongeng itu terjadi jalinan kasih sayang, dialog, diskusi dan pertukaran pengalaman antara orang tua dan anak-anaknya. Tanpa dukungan dongeng dari orangtua, minat baca dan budaya membaca anak semakin disisihkan oleh budaya menonton TV yang kini makin merajalela.
Jika anak-anak yang belum terbiasa tertarik membaca buku, tiba-tiba dihadapkan pada tarikan tontonan mengasyikkan lewat TV, maka anak ini seterusnya enggan membaca buku. Kalau anak SD minat bacanya rendah dan enggan baca buku, mustahil sekolahnya bisa ditingkatkan. Sedang anak yang tak terlatih membaca, tidak akan mencintai buku ketimbang menonton di layar TV.
Nyaris punah
Dalam mempermasalahkan dongeng, masih ada sisi lain yang memprihatinkan, yaitu tertinggalnya tradisi mendongeng lisan tersebut di berbagai daerah di tanah air. Stefanus Djuweng, peneliti dari Institute of Dayakologi Research and Development (IDRD) di Pontianak menyatakan bahwa semakin berkurangnya kaum muda Dayak yang masih memahami dan meminati tradisi mendongeng lisan sukunya. Para pendongeng etnik Dayak orangnya sudah berusia lanjut (40-70 tahun) ke atas, dan keterampilan ini tidak diminati oleh calon pendongeng muda.
Sedang di masyarakat Melayu Sambas yang berdekatan dengan wilayah Serawak (Malaysia Timur) sekarang hanya tinggal seorang pendongeng yang bisa membawakan cerita lisan Bandande. Akan halnya mendongeng semacam di Sambas itu, di kawasan Banua Lima Hulu Sungai (Kalsel) ada persamaannya dengan Ba-ande-ande, yaitu para ibu atau nenek-nenek yang mendongeng, berlagu, sambil bergontong-royong menuai padi di sawah. Di Kalsel seni yang satu ini pun nyaris punah dan tak ada generasi penerusnya.
Keluhan sekitar terpuruknya dongeng tersebut dialami pula oleh masyarakat di Angkola/Mandailing (Sumatera Utara) dengan tradisi dongengnya bernama Mangandung, juga tradisi Weweran miliknya suku Sasak Lombok (Nusa Tenggara Barat) yang mendekati kepunahannya.
Menurut budayawan Mataram terkemuka, L Wacana, mantan Kepala Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, bahwa sastra dongeng Weweran tersebut sekarang ini telah tergeser oleh film dan musik yang ditayangkan televisi. padahal seni dongeng tradisional itu cukup sarat dengan pelajaran budi pekerti yang luhur, kejujuran, keteladanan dan cinta terhadap tanah air, katanya.
Anggraini Antemas, sejarahwan tinggal di Amuntai.

