The Way of a Boy: a Memoir of Java, Kenangan di Kamp Tawanan Jepang

    The Way of a Boy: a Memoir of Java, Kenangan di Kamp Tawanan Jepang

    Masa pendudukan Jepang, 1942 - 1945, ternyata tak cuma menyengsarakan orang Indonesia. Orang Belanda, selain dimusuhi pejuang Indonesia, oleh tentara Jepang juga dianggap berbahaya sehingga harus ditahan. Kisah penuturan Ernest Hillen, bocah tujuh tahun, anak pegawai perkebunan teh Belanda di Jawa Barat, yang tiga setengah tahun menemani ibunya hidup di kamp tawanan Jepang, menggambarkan posisi yang terjepit itu.

    The Way of a Boy: a Memoir of Java
    The Way of a Boy: a Memoir of Java


    Waktu itu, saya tinggal bersama ayah, ibu, dan kakak Jerry (11) yang empat tahun lebih tua dari saya, di paviliun salah satu rumah di perkebunan teh di dataran tinggi Jawa Barat. Ayah (Belanda) pegawai perkebunan, sedangkan ibu orang Kanada yang masih belajar bahasa Belanda. Sesekali Jerry yang lebih fasih mengoreksinya.


    Rumah kami rumah panggung dengan dua kamar tidur. Satu untuk ayah dan ibu, satu lagi untuk Jerry dan saya. Hidup di perkebunan sangat menyenangkan. Udaranya dingin, ada lapangan bola dan kolam renang. Namun orang bilang, daerah itu rawan binatang buas. Suatu malam saya dikejutkan oleh bunyi semacam dengkuran orang dewasa, tepat di bawah lantai rumah. Saya jadi ingat, Manang, tukang kebun kami, pernah bercerita tentang babi hutan yang suaranya seperti itu. Binatang itu suka merusak tanaman, kadang-kadang menyerang manusia. "Apalagi anak kecil. Bisa dicabik-cabik oleh taringnya yang tajam," kata Manang.


    Kami semua setuju ketika Pak Otten, mekanik pabrik teh, berniat mematroli setiap ancaman babi hutan. Kalau perlu ditembak saja. Benar, dalam waktu tidak terlalu lama ia telah membunuh tiga ekor babi hutan gemuk. Yang terakhir ditunjukkan kepada saya dan Jerry sebelum dikuburkan. Saya ingin menyimpan tengkoraknya sebagai hiasan. Caranya adalah mengubur kepala bangkai babi hutan terpisah dari badannya, membiarkan dagingnya dimakan cacing, sampai suatu saat saya bongkar kembali untuk mengambil tengkorak yang tersisa.


    Saat membongkar tengkorak belum tiba ketika situasi di tahun 1942 itu membuat keluarga kami kalut. Perang meletus. Tentara Jepang masuk ke hampir seluruh wilayah negeri yang waktu itu bernama Dutch East Indies. Saya tak banyak tahu apa yang mereka ambil kecuali seluruh delapan laki-laki dewasa kulit putih di perkebunan, termasuk Pak Witte sang kepala perkebunan, dan ayah. Mereka diangkut dengan truk dalam kawalan tentara Jepang. Yang tersisa tinggal para wanita, anak-anak, dan Pak Otten yang barangkali diperlukan untuk menangani produksi teh - juga berburu babi hutan bersama penduduk setempat yang membawa tombak berujung besi tajam.


    Sejak ayah pergi, Leo, anjing besar kami yang hanya menurut kepada ayah, berubah jadi buas. Manang, lelaki pendiam yang tak pernah pakai sepatu, tak berani berbuat apa-apa kendati ia punya senjata tajam yang bisa difungsikan untuk membuatkan kami mainan dari bambu, kayu, atau daun pisang. Setelah Leo menggigit dan melukai beberapa orang, dengan berat hati ibu meminta tolong Pak Otten untuk menembaknya. Anjing itu pun kami kubur tanpa harus ditunggu untuk diambil tengkoraknya.


    Kolam renang tanpa laki-laki dewasa jadi kurang asyik. Sebab dari merekalah kami belajar main kecipak air, menyelam, juga mengintip dari sela-sela dinding bambu bilik ganti pakaian perempuan. Jerry pernah cerita, suatu saat ia berhasil "mendapatkan" sepasang buah dada montok meski tak tahu milik siapa.


    Kalau Jerry senang membaca, saya lebih suka main harmonika dan mengumpulkan potongan logam. Harmonika hadiah ulang tahun keenam dari ayah, sedangkan potongan logam akan saya cor jadi kapal-kapalan seperti kapal yang kami tumpangi waktu berangkat dari Belanda dulu.


    Sayang sekali, ketika tiba waktunya "bertualang seperti ayah", ibu hanya memperbolehkan saya membawa harmonika, bukan logam-logam itu. "Kita akan pergi ke tempat yang belum kita ketahui. Terlalu berat kalau dibawa berpindah-pindah."


    Air untuk radiator truk, bukan untuk kami


    Esoknya, dua truk datang untuk mengangkut kami. Perempuan dewasa dan anak-anak naik diiringi hardikan tentara Jepang. "Lekas! Lekas!" itu sedikit kata Indonesia yang bisa mereka ucapkan.


    Truk penuh sesak oleh penumpang yang mestinya ditampung dalam tiga truk. Jalanan menurun, berkelok-kelok, debu mengepul ke udara. Rasanya sulit bernapas karena hidung, telinga, dan bibir penuh debu. Tak banyak orang berbicara; khawatir kalau membuka mulut lidah bisa tergigit karena truk berjalan mengentak-entak kasar.


    Setengah perjalanan kami berhenti di sebuah desa. Para pengawal bergerak cepat mencari air untuk radiator truk, bukan untuk kami. Apalagi makan. Padahal hari sangat panas, dan saya lapar. Ibu menyusun tas di sudut bak truk agar saya bisa tiduran, sementara ia dan Jerry tetap berdiri. Mata terpejam di bawah sinar matahari yang menyengat.


    Salah seorang tentara Jepang memberitahu bahwa kami sedang menuju Bandung. Saya pernah ke sana diajak ayah. Ada kolam renang, ada banyak restoran dengan macam-macam es krim. Ada pula makanan tradisional terbungkus daun pisang yang harganya cuma satu sen. Jalan aspal menanjak dan turun, cocok untuk ditelusuri dengan sepatu roda. Ayah menjanjikan suatu saat kami boleh main sepatu roda.


    Ayah? Bagaimana kabarnya sesudah enam minggu pergi? Kami mau pergi berapa lama? Rasa gerah penuh debu ini saja terasa sangat lama. Apalagi sampai enam minggu.


    Setelah perjalanan menuruni gunung, sampailah kami ke bekas sekolah di pinggiran Kota Bandung. Kami harus tinggal sementara di situ karena tempat di Bandung belum siap. Bangunan itu kumuh dan terbengkalai. Jendela banyak yang rusak, bangku-bangku berserakan di halaman berumput liar. Lantai ruang kelas terkelupas dan penuh kotoran manusia. Mungkin tempat itu pernah dipakai untuk memenjarakan orang, sebab di luar ada kamar mandi dan WC meski keadaannya menjijikkan. Apa boleh buat, itulah "rumah" kami dalam beberapa hari.


    Hardikan dan teriakan selalu keluar dari mulut tentara Jepang yang tak satu pun bertubuh lebih tinggi dari perempuan tawanan. Kadang disertai pukulan dan tamparan. Saya hampir tak pernah mendengar mereka tidak berteriak. Beberapa hari kami hidup di tempat kotor dan kalau malam hanya diterangi lilin. Sampai suatu pagi, truk datang untuk mengangkut kami menuju Bandung.


    Bloemenkamp, atau Kamp Bunga, adalah sebuah wilayah di Kota Bandung yang dikelilingi pagar kayu dan bambu tinggi dililit kawat berduri. Hanya ada satu pintu gerbang untuk masuk dan keluar. Selalu ada penjaga di sana, yang tak mengizinkan seorang pun dari sekitar lima ribu tawanan perempuan dan anak-anak untuk keluar. Kecuali sakit keras atau meninggal.


    Sebagai pendatang baru, kami dikumpulkan di tanah lapang, dua jam di bawah terik matahari. Para perempuan mengeluh, bayi-bayi menangis, tetapi semua harus tetap berdiri. Komandan kamp, melalui penerjemah, seorang wanita Indo, menyatakan, cara menghormati komandan yang meneriakkan kata "Keirei!" adalah membungkuk empatpuluh lima derajat ke depan. Ketika terdengar kata "Naore!", badan kembali ditegakkan. Sikap membungkuk ditujukan kepada Kaisar Jepang. Kalau kami tidak melakukannya, itu berarti melecehkan beliau dan kami pantas dihukum.


    Ibu dan para perempuan lain bekerja di dapur, kadang di bengkel kerja tanpa atap sehingga kulitnya jadi kering dan hitam. Atau merawat orang sakit dan membersihkan kamar mandi umum. Sedangkan Jerry dan remaja seusianya bekerja di dapur, memecah kayu bakar, mengangkat drum berisi air masak, kuah sayur, atau nasi, kemudian membaginya ke dalam piring yang tersedia. Saya, karena masih kecil, dibiarkan saja bermain. Tidak ada sekolah. Yang penting menuruti perintah. "Ya, kita harus menuruti perintah mereka. Jangan melawan. Mereka kuat, punya senjata, dan mereka yang membuat peraturan," pesan ibu.


    Sembunyi di selangkangan nenek-nenek


    Saya tak cuma main dengan teman sebaya, Dirk. Dengan anak-anak Indonesia dari kampung setempat pun saya sering bergelut. Mereka masuk menerobos pagar, atau saya yang keluar, meski kalau ketahuan penjaga dimarahi. Badan mereka yang kecil, berdaki karena jarang mandi, ternyata gesit dan sulit dikalahkan. Tapi beberapa ada yang jadi teman.

    Makanan di kamp kadang bervariasi, kadang tidak enak. Tapi porsinya tetap sedikit. Anak-anak jadi sekurus anak Indonesia. Perempuan jadi jangkung-jangkung, sehingga tentara Jepang perlu mengangkat tumit untuk menampar atau menarik rambut. Bahkan ada yang perlu naik ke atas kayu agar lebih leluasa memukul. Teriakan "Ampun!" tak cukup untuk menghentikan tindakan.


    Begitu sering saya melihat kelakuan itu. Dengan bijak namun mengejutkan ibu menerangkan, "Mereka adalah musuh kita. Meski kadang tersenyum, mereka tidak suka kepada kita. Sedikit saja kita salah, mereka bisa bunuh kita." Baru sekali itu ibu bicara tentang "musuh". Selama ini, bahkan dalam cerita keagamaan, ibu selalu menerangkan, Tuhan mengasihi semua orang, juga musuh-musuhnya. Bagaimana mungkin saya mengasihi orang yang selalu membentak dan memukul perempuan?


    Suatu saat, gara-gara membuat terowongan tanah dengan Dirk, jari saya terluka. Saya ke dapur dan membersihkannya dengan air, kemudian pulang. Sore hari, ibu membalutnya dengan robekan selimut bersih. "Ini tidak apa-apa. Sudah banyak goresan luka di tubuhmu," kata ibu.


    Pagi harinya ternyata luka itu berubah jadi bengkak. Jari saya kemerahan. Sepanjang hari saya tiduran menunggu ibu dan Jerry pulang. Mereka membawa makanan, tetapi rasanya tak ada selera. Tengah malam, rasa sakit membangunkan saya. Ternyata jari saya sudah dua kali lipat ukuran aslinya. Sebagian berwarna kuning. Ibu mengambil semangkok air hangat yang ditaburi garam, lantas menyuruh saya mencelupkan jari bengkak itu.


    Pagi harinya ibu mengajak saya mendatangi dua perawat yang tinggal di sebuah garasi. Mereka bilang saya perlu banyak makan dan vitamin, sementara mereka tak punya vitamin ataupun obat. Mereka malah memberi sepotong kue apem, lalu tertawa.


    Kami pulang. Ibu bekerja, dan saya pun berbaring di kasur. Pergelangan tangan berubah jadi merah. Badan saya panas, muka dan kepala berkeringat, tetapi udara terasa dingin. Ketika Jerry dan ibu pulang, mereka coba mengurangi penderitaan saya. Jerry membaca buku tanpa gambar yang kata-katanya tidak saya pahami.


    Ibu pergi sebentar, dan ketika kembali bilang, "Nak, warna merah di lenganmu bisa naik ke badanmu, ke dadamu, lalu ke jantung. Itu berbahaya. Kita harus berbuat sesuatu. Besok pagi-pagi sekali kamu akan pergi ke suatu tempat."


    Serangga malam masih berbunyi ketika saya bergandengan dengan ibu berjalan mengendap-endap menuju ke sebuah rumah tak jauh dari gardu penjagaan. Ibu mengetuk pintu, dan seorang perempuan muda membukakan pintu. Ia mengenakan pakaian tidur tipis sehingga celana dalamnya terlihat. Di ruang dalam, seorang perempuan tua berselimut biru duduk di kursi roda. Tanpa bicara ia mengangkangkan kakinya. Ibu bilang, "Kamu duduk di injakan kaki ini dan jangan bergerak atau bicara. Ibu akan tutupi kamu dengan selimut dan di luar nanti sebuah truk akan mengangkutmu ke rumah sakit. Di sana ada obat, vitamin, juga makanan."


    Sambil menahan bau pesing dan asam dari selangkangan si nenek, saya merasakan kursi roda berjalan pelan. Naik ke truk, saya tetap dalam posisi itu. Truk berjalan, sesekali si nenek menekan kepala saya. Sakit rasanya. Tak lama kemudian truk berhenti di tempat yang agak ramai. Selimut biru terbuka, dan udara terasa sangat segar. "Kamu terlihat lelah, Dik," seorang perempuan tinggi bertopi putih menyapa sambil tersenyum. Ia menggandeng saya turun, sementara perempuan lain dengan topi yang sama membimbing nenek berkursi roda yang kehangatan selangkangannya sempat menghapus rasa sakit pada tangan saya.


    Saya diantar menuju ruangan besar dengan banyak jendela dan beberapa tempat tidur berisi anak-anak kecil. Di salah satu ranjang yang kosong perempuan bertopi putih itu menyuruh saya tiduran. "Kamu boleh panggil saya suster," katanya sambil pergi dan tak lama kemudian kembali membawa salad buah kesukaan saya.


    Pada siang hari makanan makin lengkap. Nasi beserta lauk-pauknya, juga susu. Semua saya nikmati di atas tempat tidur. Anak-anak sekitar ada yang melihat, ada yang mencoba mengajak bicara tapi tak jelas, ada pula yang tidur. Ada yang kakinya diperban, yang diinfus pun ada. Oleh suster saya dikatakan anak paling sehat di ruangan itu, sehingga saat perban dibuka untuk diobati dengan cairan hangat, saya malu berteriak. Padahal sakit.


    Beberapa malam di situ, rasa rindu datang. Jerry, ibu, teman-teman di Bloemenkamp. Apalagi ayah. Makanan enak tak bisa mengalahkan kebosanan. Saya tak bisa main karena semua orang bekerja atau sakit. Sampai akhirnya, setelah tujuh belas hari dirawat, saya pun diangkut truk bersama dengan perempuan lain menuju Bloemenkamp. Hari sudah sore ketika ibu memeluk dan mencium saya sangat lama. Juga Jerry. Rupanya hampir setiap sore keduanya berdiri di pintu gerbang menanti kedatangan saya, dan mereka pasti telah belasan kali kecewa.


    Selalu salah hitung


    Hari Natal 1942 lewat dengan penuh kesan. Perempuan dewasa pesta dengan perlengkapan sekenanya. Ada yang pakai baju pinjaman, ada yang mengenakan perhiasan yang lama disembunyikan, ada makanan simpanan, dan ada yang main piano. Ibu sempat menangis di ujung lagu, kemudian keluar ruangan meninggalkan banyak orang yang tiba-tiba terdiam.


    Hari dan minggu-minggu berikutnya keadaan kembali seperti biasa. Hingga tiba saatnya kami dikumpulkan di tanah lapang, di bawah terik matahari, tak seorang pun boleh duduk atau jongkok, dan diberitahu besok pagi akan pindah.


    Cihapit, tempat baru itu, memang tak beda jauh dengan Bloemenkamp. Masih bagian dari Bandung, tetapi lebih luas dan lebih gaduh karena katanya menampung limabelas ribu tawanan, tiga kali lipat jumlah penghuni Bloemenkamp. Para penjaga lebih sibuk, sehingga untuk mengaturnya setiap tawanan diberi nomor. Saya memperoleh nomor 12952, yang dijahitkan ibu pada bagian paha celana saya, menghadap ke depan.


    Itu pun terkadang masih menyulitkan para penjaga. Dalam setiap kali apel, kesalahan hitung selalu terjadi. Padahal kami berurutan meneriakkan nomor. Setiap kesalahan hitung selalu diikuti bentakan, dan kami mengulang dari nomor awal.


    Di Cihapit, waktu terasa cepat berlalu. Kami tinggal di sebuah rumah besar bersama sebelas keluarga lain di rumah dengan kamar mandi sendiri. Kamar kami punya jendela menghadap ke halaman belakang yang ditumbuhi berbunga.


    Batas antara kamp dengan rumah penduduk adalah tembok keliling. Saya tak banyak tahu kejadian di luar tembok kecuali bunyi bel becak atau teriakan penjaja dagangan. Di dalam tembok, para penjaga tak hanya orang Jepang. Ada pemuda Indonesia berseragam yang disebut heiho. Mereka kadang lebih kejam, tak segan menggampar atau menendang. Yang lebih menakutkan adalah Kempetai, pasukan khusus Jepang seperti halnya Gestapo di Jerman. Ada remaja sebaya Jerry yang dihukum berdiri di pinggir lapangan selama enam hari dan hanya diberi makan pisang. Terhadap perempuan dewasa, siksaan Kempetai sering berakhir dengan luka-luka atau kepala dibotaki. Banyak tawanan yang dibawa pergi hingga tak ketahuan lagi nasibnya.


    Jerry mandiri


    Ada saatnya para remaja dibawa pergi dari kamp. Kata penjaga, mereka diambil karena "membahayakan negara". Mereka ternyata dipekerjakan di kamp lain yang semua penghuninya laki-laki dewasa. Termasuk Jerry yang umurnya sudah tigabelas tahun.


    Saya cemas. Sementara ibu, seperti biasa, justru tenang. Ia mempersiapkan keperluan Jerry dan menasihati, "Ini petualangan baru bagimu. Kamu akan bekerja lebih keras, lebih lelah, tetapi pantas bagi laki-laki semacam kamu. Kamu akan mandiri."


    Jerry malah gembira. Ia bagaikan Robinson Crusoe, petualang yang kisahnya sering dia ceritakan kepada saya. Hari masih gelap di pagi keberangkatannya, ia sudah mandi dan berpakaian rapi. Saya terbangun oleh bau sabunnya. Rombongan pun diangkut dengan truk. Ada yang tertawa-tawa, banyak pula yang menangis.


    Keadaan di Cihapit kembali seperti semula. Hampir setahun kemudian, datang selembar kartupos. Rupanya dikirim oleh Jerry, dengan pesan berhuruf tegak dalam bahasa Indonesia. "Saya satu kamp dengan ayah. Kami mendapat banyak makanan dan bisa bersenang-senang. Orang Jepang memperlakukan saya dengan baik. Jadi ibu dan Ernest tak perlu khawatir." Kami sangat bersyukur.


    Ketiadaan Jerry rupanya menyurutkan semangat saya untuk bergaul. Saya jadi sering mendatangi gudang tempat tinggal dua perempuan perokok yang selalu mengenakan celana pendek, Corry Vonk dan Puk Meijer. Keduanya membuat bilik bersekat kain di salah satu sisi gudang. Sementara bagian lain dijadikan tempat mereka mengumpulkan gadis-gadis kecil untuk belajar teater dan kabaret. Ketika Corry dan Puk mengajak bergabung, saya mau saja. Tak terpikir bahwa ternyata saya satu-satunya laki-laki di lingkungan itu.


    Permohonan untuk berpentas ternyata dikabulkan komandan kamp. Maka di hari pementasan, gudang penuh sesak. Di deret terdepan, komandan dan empat anak buahnya duduk di kursi dapur. Mereka diam saja ketika orang-orang tertawa, atau sebaliknya, mereka justru tepuk tangan ketika penonton tak bersuara. Tak apa-apa. Corry dan Puk berhasil mengajak kami bergembira. Kelaparan dan penderitaan, untuk sementara, sirna.


    Kaisar mengizinkan kami tulis surat


    Suatu hari, serombongan laki-laki kulit putih datang naik truk sambil menggotong bambu dan pelbagai macam peralatan. Rupanya kamp Cihapit akan dibagi dua, dan mereka diperintahkan membangun pagar sepanjang perbatasan sekaligus pintu gerbang baru. Kendati tak kenal dengan seorang pun, bagi kami bertemu dengan laki-laki "bule" adalah pengobat kerinduan yang hampir dua tahun tak kami temui.


    Saya, ibu, dan ribuan tahanan lain pindah ke salah satu sisi kamp yang disebut Cihapit Atas. Kami hidup di rumah berdesak-desakan, dalam kamar tanpa jendela. Di situlah ibu diserang berbagai penyakit, mulai dari sakit gigi sampai sakit kuning. Saya sedih kalau ibu tidak bekerja, sebab itu berarti tak ada tambahan roti.


    Makin banyak orang dewasa yang jatuh sakit. Beberapa ada yang masuk ke rumah sakit. Kucing dan anjing, yang dulu masih berkeliaran, tak ada lagi karena sudah ditangkap untuk disantap. Saya ingat betul, akhir tahun 1944 itu untuk pertama kalinya Palang Merah mengedrop bantuan ke kamp. Ada roti, makanan kering, dan rokok. Sebelum dibagikan, kami disuruh berkumpul di lapangan, dan diceramahi oleh komandan. Ia bilang, sekalipun kami "busuk", oleh kaisar kami masih diperkenankan menikmati bantuan.


    Ketika ada kesempatan buat menulis surat, para penjaga juga mengatasnamakan kaisar. Kata mereka, kesempatan itu diberikan karena kaisar mengizinkan. Kartu dibagikan dengan cepat, kami harus menulis dengan cepat, dan cepat pula dikumpulkan. Pun disertai syarat agar kami tidak menuliskan tanggal, waktu, dan tempat. Kami pun dilarang bercerita tentang penderitaan, penyakit, dan hal-hal buruk lain. Hanya hal-hal bagus yang boleh ditulis. Wah, jangan-jangan kartu pos Jerry tempo hari juga berisi kebohongan yang sama.


    Waktu berjalan terus, nyaris dengan rutinitas dan ketidakpastian yang sama. Sesekali muncul desas-desus, tak lama lagi kami akan dipindahkan. Benar saja. Suatu saat ratusan tawanan diabsen dan pada jam tertentu berbaris menunggu di pintu gerbang. Ada yang bilang mereka akan ditembak dengan senapan mesin, ada pula yang bilang, mereka diikutkan dalam "Borneo Plan": para tawanan diangkut dengan kapal menuju P. Borneo dan dipekerjakan di pertambangan dengan imbalan satu ons beras per hari. Mereka akan mati kelaparan, sementara anak-anak disebarkan di seluruh Pulau Jawa untuk dipelihara orang Indonesia.


    Kehausan di gerbong pengap


    Tibalah giliran saya dan ibu berangkat. Seperti biasa, Anna Hillen menenangkan. "Tak usah takut, Nak. Ini petualangan baru," katanya sambil mengisi dua botol minuman dan memasukkannya ke dalam tas. Bersama ratusan orang lain kami diangkut ke stasiun kereta api. Dulu, waktu umur empat tahun saya pernah diajak ayah naik kereta api ke Bandung.


    Kereta yang akan membawa saya dengan ibu tampaknya kelas empat. Jelek, kotor, dengan dua bangku panjang yang saling berhadapan. Jendelanya dipalang-palang pakai kayu dan bambu. Beruntung, kami mendapat tempat di tengah. Tapi orang terus saja naik. Bahkan gang di antara dua bangku penuh manusia dan barang bawaan. Langsung panas dan pengap. Tak lama kemudian, pintu ditutup. Anak-anak menangis. Suasana gaduh di antara tetesan keringat. Saya berharap kereta segera jalan, tapi ternyata masih diam berjam-jam. Terik matahari menghantam atap, dan semua penumpang megap-megap.


    Akhirnya kereta berjalan juga. Sesekali ada penumpang yang coba bernyanyi, tetapi berhenti lagi karena penumpang lain tak menanggapi. Agaknya semua telah kehilangan tenaga. Persediaan minum yang semula dihemat, tak terasa sudah habis. Udara seperti sulit sekali dihirup, masih pula ditambahi bau pesing dan kotoran. Di kedua ujung memang ada lubang pembuangan di lantai, tetapi hanya orang-orang di sekitarnya yang bisa memakai karena nyaris tak ada celah di antara badan dan barang yang berdesakan.


    Siang berubah jadi sore, dan sore pun diganti malam. Beberapa kali kereta berhenti, tetapi kami tak mendapatkan apa-apa. Saya menangis karena kehausan, sementara ibu hanya bisa menjanjikan akan ada minuman nanti kalau kereta sampai. Sampai di mana? Lewat sebuah celah kecil seseorang mengenali itu jalan menuju Batavia. Kota yang panas dan lembap. Di udara panas, bau kotoran makin terasa.


    Di Batavia, kereta berhenti dan kami turun. Perjalanan dari Bandung yang normalnya tiga jam, ditempuh dalam duapuluh jam. Hampir tak tersisa tenaga untuk bangun, kecuali harapan untuk lepas dari kepengapan. Masih juga tentara menghardik sambil menyuruh kami naik ke bak truk.


    Air belum ada juga. Badan berbenturan di atas bak truk yang melaju kencang di jalan beraspal. Kurang-lebih setengah jam, tibalah kami di kamp baru, Kampung Makasar. Tiga perempuan yang mengaku kaichos (kepala kamp), tanpa senyum mengarahkan kami ke tempat penampungan. Kami harus mandi, makan, tapi tidak bekerja karena hari itu adalah yasumi, hari istirahat. Besok para perempuan harus bekerja. "Ini memang kamp kerja," kata mereka.


    Di Kampung Makasar banyak laba-laba, cicak, nyamuk, lalat, dan tokek yang bunyinya di malam hari sering ditunggu karena katanya, kalau berbunyi tujuh kali berarti keberuntungan.


    Selain tugas tetap seperti kerja di kebun dan sawah sebagaimana yang dilakukan ibu di Buitenzorg (Bogor) yang berjarak beberapa kilometer, ada tugas tambahan. Tiap hari, setiap perempuan dewasa harus menyetorkan sepuluh lalat ke kantor jaga. Saya rajin menangkap lalat untuk memenuhi kuota ibu. Itulah salah satu aturan agar kami selalu menjaga kebersihan. Pukul delapan malam lampu harus mati, dan seluruh barak jadi gelap. Tentara Jepang selalu menekankan perlunya berhemat energi, tetapi bangunan batu tempat tinggal komandan dan para penjaga setiap malam terang-benderang. Saya tahu banyak karena sering menyelinap keluar untuk melihat bintang, walaupan kalau ketahuan patroli bisa membahayakan ibu. Beberapa kali saya lihat perempuan yang hanya mengenakan BH dan celana dalam dipapah keluar sambil menggigil atau penuh luka. Kadang kepalanya botak.


    Kapten Tanaka, komandan kamp Kampung Makasar, terkenal kejam. Kesetiakawanan dalam penderitaan jadi berkurang karena banyak perempuan yang membocorkan kelakuan tawanan lain kepada penjaga demi imbalan.


    Bagaimanapun kebahagiaan sesekali datang. Di sebuah perayaan Paskah kami mendapat nasi dua kali porsi biasanya, soto babat, dan setengah butir telur. Rasanya sudah lama sekali saya tak makan telur. Tapi apa mau dikata, ibu meminta bagian saya untuk diberikan kepada sahabat saya, Hubie van Boxel, yang sakit keras. Dengan berat hati saya berikan, sementara bagian ibu kami bagi lagi menjadi dua. Ketika Hubie tak tertolong dan meninggal, saya bersyukur pernah membantunya walau gagal.


    Sepeninggal Hubie, waktu seperti berjalan makin cepat. Apalagi situasi gaduh sering terjadi di luar kamp. Pesawat udara beterbangan, bunyi ledakan makin sering. Kabar yang terdengar adalah: perang berakhir.


    Benar saja. Di minggu kedua Agustus 1945, kaichos memberitahu, di luar kamp tentara Indonesia memberontak, menginginkan kemerdekaan. Pilot Amerika telah mengebom Jepang dan Jepang menyerah.


    Tibalah malam istimewa itu. Para perempuan berpesta, mengenakan "pakaian untuk menyambut kebebasan", menyanyi dan menari-nari sampai berkeringat, serta terus-menerus merokok. Di tengah tarian seorang perempuan memberi rokok kepada saya dan menyalakannya. "Kamu jadi laki-laki sekarang," katanya. Tubuh-tubuh kurus dengan buah dada kempes itu terus-menerus menari dan berteriak-teriak.


    Esoknya Kapten Tanaka tak kelihatan lagi, digantikan tentara Inggris yang langsung menawan penjaga kamp. Para perempuan menyambut dengan histeris. Kami tetap berada di kamp tapi dalam penjagaan tentara kulit putih. Sampai suatu sore, John Hillen muncul di pintu gerbang yang kini selalu terbuka. Saya dan ibu langsung menyambut. "Saya ayahmu," katanya. "Yes, Sir," jawab saya. Betapa mengharukan karena tiga setengah tahun tak bertemu dengan ayah.


    Keesokan harinya kami berangkat menuju kamp di Cimahi, kota kecil di luar Bandung, untuk menemui Jerry. Kami tinggal di sana untuk sementara. Makanan cukup, dan kami berkumpul lagi. Jerry telah satu setengah tahun mandiri, dan saya akan segera jadi laki-laki betul seperti dikatakan perempuan pemberi rokok di Kampung Makasar. (SL - Ernest Hillen, The Way of a Boy: A Memoir of Java)

    LihatTutupKomentar