Meredam Isu dengan Isu

    Meredam Isu dengan Isu
    Meredam Isu dengan Isu


    Meredam Isu dengan Isu

    Di masyarakat kita dewasa ini, isu berkembang menjadi komoditas yang berwatak ganda, di satu sisi sangat digandrungi oleh para pedagang isu, di sisi lain mengharu-biru logika kelompok yang secara intelektual marginal, dan menjadi menjadi momok bagi mereka yang terancam kepentingannya. Karena wataknya yang demikian itu, para provokator sebagai investor isu gemar memperdagangkan isu sambil dengan sengaja menggiring masyarakat ke situasi chaos dengan biaya sosial yang tinggi, situasi yang dapat dimanfaatkan sebagai jalan masuk untuk memaksakan kepentingan tertentu. Isu dalam arti desas-desus yang tidak jelas sumbernya memang menjadi momok bagi masyarakt.


    Tapi perlu disadari, disamping makna negatif, isu juga punya makna strategis, yakni sebagai masalah yang mendesak dengan sosok substansi yang jelas, dan karena itu perlu ditanggapi segera untuk menghindari kebuntuan dan kemandekan dalam masyarakat. Dalam dunia ilmu pengetahuan misalnya, isu menjadi unsur strategis kemajuan ilmu; dari padanya hipotesis-hipotesis dirumuskan untuk selanjutnya menjadi tesis-tesis baru lewat peneliatian ilmiah. 


    Dalam pembangunan nasional, isu dalam arti ini pun tidak kurang banyaknya. Ekonomi kerakyatan misalnya, menjadi isu sentral dalam kebijakan ekonomi pemerintahan, begitu sentralnya sehingga tidak cukup ditangani melalui departemen teknis yang ada. Karena itu, kedua kata “isu” dalam judul tulisan ini harus dibaca dalam arti yang berbeda. Isu dalam arti desas-desus yang tidak jelas sumbernya perlu diredam dan diakan dengan isu berupa problem-problem strategis, yang pemecahannya membawa kemaslahatan bagi masyarakat.


    Isu dan pendekatan memetika


    Dalam pandangan sosiologis (praksis politik riil), salah satu isu dengan bobot politik yang tinggi, menyedot perhatian dan kerisauan banyak pihak, ialah semakin memudarnya ide keIndonesiaan berupa bahaya desintegrasi bangsa di tengah muncul dan gencarnya politik identitas. Namun dalam cara pandang teori memetika, yang intinya adalah biarkan hubungan antarorang dengan rasa kebangsaan menjelaskan dirinya sendiri, gejala ini justru menunjukkan semakin menguatnya ide keIndonesiaan. Artinya ide keIndonesiaan sebagai meme ( mim ), yang dalam teori memetika diartikan sebagai unit informasi yang dapat pindah dari satu benak ke benak yang lain, lantas mempengaruhi sikap dan perbuatan pemiliknya (Kompas, 19 Desember 1998), bekerja efektif menggandakan dirinya dalam evolusi sosial budaya dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan gen dalam evolusi biologis. Yang perlu diwaspadai dari mekanisme penggandaan meme ini adalah akibatnya berupa bahaya disntegrasi atau evolusi sosial, karena mem mempunyai kemungkinan dan kemampuan merusak keutuhan Indonesia melalui mekanisme interpretasi perorangan atau kelompok yang tendensius. Karena itu, proses kerja meme dengan efek penggandaan diri hanya bisa berarti positif, kalau ia menghasilkan varian-varian yang tidak merugikan, baik dalam arti mekanisme penyelenggaraan negara, yang otoriter misalnya, maupun dalam arti munculnya ide pemisahan diri daerah-daerah dari negara kesatuan RI. 


    Munculnya ide Sulawesi Merdeka akibat tersinggungnya orang Makasar atas pelesetan SDM menjadi “Semua Dari Makasar” sebagai komentar kritis atas keputusan B.J. Habibie menempatkan para petinggi di Jakarta, dapat dijelaskan dari teori memetika ini. Semua dari Makasar sebagai meme, dalam benak orang Makasar diinterpretasi sebagai hal yang melukai perasaan, dan obatnya adalah “selamat tinggi Indonesia”. Walaupun cetusan perasaan ini barang kali hanya sebuah spontanitas segelintir orang yang tidak punya bobot politik, tetapi begitulah bekerjanya meme dalam benak setiap insan, sering mengaduk-aduk perasaan dan cepat menggandakan dirinya dan melahirkan perilaku yang secara sosial politik, anomali. Karena itu, walaupun pendekatan memetika mensinyalir semakin menguatnya ide keIndonesiaan, tetapi penguatan ini justru berbahaya jika ia beroperasi dalam benak para penganut politik identitas dan kriminalisasi politik, karena ia justru mematangkan situasi ke arah “menetasnya” Indonesia.


    Kendali isu


    Menghadapi efek penggandaan meme yang berbarengan dengan kriminalisasi politik, diperlukan kendali-kendali isu yang berfungsi sebagai kekuatan pencerahan atas berseliwerannya informasi yang membingungkan masyarakat. Dengan kata lain, seperti juga mekanisme pasar yang perlu diintervensi bila mekanisme itu merugikan masyarakat, proses kerja meme pun perlu diintervensi apabila proses itu berpotensi menciptakan kebingungang mengalami disorientasi politik. Bukti-bukti sudah sangat banyak menjelaskan adanya disorientasi politik ini. 


    Digugatnya Pancasila sebagai asas partai politik misalnya, dapat dibaca sebagai gejala disorientasi politik, jika asas partai politik yang baru bersifat eksklusif, tidak sinkron dengan nilai-nilai yang telah disepakati sebagai bangsa. Dalam masyarakat negara yang tinggi heterogenitasnya, eksklusivisme mestinya bermakna ke dalam dirinya sendiri lantas menjadi sumber nilai-nilai inklusif, tidak memaksakan kehadirannya dalam wilayah kepentingan publik. Dengan kata lain, negara yang mewujudkan nilai-nilai inklusif, yang tidak lain adalah intisari nilai-nilai masyarakatnya sebagai faktor persekutuan terbesar, hadirnya gejala eksklusivisme dalam wilayah publik adalah sebuah anomali.


    Karena itu, di samping pemerintah yang secara fungsional berperan membangun jaring-jaring pengamanan sosial, politik, ekonomi dan hukum, diperlukan lembaga-lembaga independen sebagai produsen isu dengan kekuatan dan wibawa moral yang tinggi, dan karena itu berfungsi sebagai political safety net. Lembaga yang sangat layak untuk maksud ini adalah perguruan tinggi dengan civitas academica-nya. Dengan kata lain, perguruan tinggi mempunyai tanggung jawab moral menciptakan dan mengendalikan isu sebagai salah satu instrumen pembentukan masyarakat madani. 


    Fungsi ini tentu saja menuntut peran perguruan tinggi sebagai pengamat hukum, diperlukan lembaga-lembaga independen sebagai produsen isu dengan kekuatan dan wibawa moral yang tinggi, dan karena itu berfungsi sebagai political safety net. Lembaga yang sangat layak untuk maksud ini adalah perguruan tinggi dengan civitas academica-nya. Dengan kata lain, perguruan tinggi mempunyai tanggung jawab moral menciptakan dan mengendalikan isu sebagai salah satu instrumen pembentukan masyarakat madani. 


    Fungsi ini tentu saja menuntut peran perguruan tinggi sebagai pengamat yang cerdas dengan kepedulian yang tinggi atas perkembangan-perkembangan yang terjadi di tanah air, dan dengan kemampuan akademiknya, menyajikan informasi yang tinggi kredibilitasnya, tidak seperti para politisi, kebenaran informasinya pada umumnya adalah kebalikan informasi itu. Maka forum diskusi dengan tema-tema aktual dan produk yang cerdas sebagai wahana pencerahan masyarakat oleh perguruan tinggi dan pers, merupakan langkah strategis dalam rangka reformasi yang bermutu dan berkelanjutan. Dengan begitu, pers dan perguruan tinggi menjadi pencipta dan pengendali isu. 

    LihatTutupKomentar