Media Seni Keramik

     

    Media Seni Keramik
    Media Seni Keramik


    Media Seni Keramik


    Media Seni Keramik - "SETIAP kali aku berpikir tentang aktivitas berkeramik yang telah menjadi satu dunia tersendiri yang menarik. Aku selalu membayangkan diriku berpetualang. Kubiarkan imajinasiku mengembara keluar-masuk, meraba-raba, dan merasa-rasakan di dalam ruang-ruang imajiner yang kurangkai-rangkai sendiri. Di sanalah aku punguti kenyataan-kenyataan dan berbagai penglihatan yang kujadikan perbendaharaan verbal dan materi-materi bentuk dalam aku berolah tanah. Dengan semua itu aku coba wujudkan renungan-renunganku," demikian kata seorang keramikus Yogyakarta, Noor Sudiyati, dalam sebuah esai yang ditulis oleh M. Dwi Marianto. Esai tersebut berjudul Dunia Kreatif Noor Sudiyati Melewati Pematang Lempung.


    Ia begitu menikmati pekerjaannya itu sebab dengan keramik ia dapat mengungkapkan segala gejolak yang telah lama mengendap dalam sanubarinya. Setelah memfisikkan unek-uneknya itu menjadi sebuah karya, ia dapat bernapas lega.


    Apa yang akan Anda bayangkan ketika mendengar kata "keramik"? Pasti yang terlintas dalam benak adalah benda seperti gerabah, vas bunga, lantai, jambangan, atau guci. Yang Anda bayangkan tidak salah, namun keramik ternyata tidak hanya berupa barang-barang untuk keseharian hidup kita. Saat ini keramik sudah digunakan untuk berbagai macam keperluan, mulai dari lantai kamar mandi hingga isolator listrik, dari guci hingga pelengkap bahan pembuatan nuklir. Bahkan, keramik pun telah dijadikan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi jiwa seorang seniman. Noor Sudiyati misalnya, ia mampu mengungkapkan semua gejolak yang ada dalam batinnya melalui media keramik yang dibentuk dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh adalah karyanya yang berjudul "Memedi Sawah". Secara garis besar ia berbentuk manusia setengah badan. Belang-belangnya yang tak beraturan mirip loreng-loreng kamuflase dari pakaian tempur militer atau jaket ular belang yang cukup menakutkan dan mampu berseru, "Hush..hush enyah!"


    Memang karya ini dimaksud untuk menggambarkan orang-orangan atau memedi (setan) sawah yang dibuat para petani tradisional di Jawa sebagai pengusir burung-burung gelatik dan pipit yang suka seenaknya memetiki butir-butir padi yang tidak mereka tanam sendiri.


    Semua orang tentu sudah mengenal bahan dasar dalam proses pembuatan keramik, yaitu tanah liat, kaolin, dan bahan-bahan lainnya, sesuai dengan potensi yang ada di suatu daerah. Akan tetapi, ada baiknya bila kita mendefinisikan keramik terlebih dahulu. Berdasarkan definisi yang ada dalam Encyclopedia Americana, keramik adalah sebutan yang secara asli (originally) ditujukan kepada barang-barang yang terbuat dari tanah (Natural Earths) yang telah mengalami proses pembakaran dalam temperatur yang tinggi. Keramik dibagi menjadi tiga jenis yaitu, Pottery, China, dan Porcelain (porselen).


    Pottery adalah sebutan generik untuk segala macam peralatan dari tanah liat yang melalui proses pembakaran. Namun demikian, sebutan tersebut sering digunakan secara spesifik pada desain berwarna, benda keropos yang dibakar --secara relatif-- pada temperatur yang rendah. Pottery dan Earthenware dapat dibedakan (kedua istilah ini, dalam kamus Inggris-Indonesia, oleh John M. Echols dan Hasan Shadily, mengacu pada arti yang sama yaitu, barang tembikar; barang yang terbuat dari tanah). Earthenware lebih dikenal sebagai tembikar yang berwarna putih atau kekuning-kuningan. Baik Pottery maupun Earthenware merupakan keramik halus dan mampu menyerap kelembaban/uap lembab hingga tiga persen.


    China adalah sebutan untuk benda putih mengkilap atau buram, keras, dan tidak memunyai daya serap, digunakan untuk tujuan nonteknik. Termasuk ke dalamnya, barang-barang seperti, peralatan makan dan karya seni. Proses pembuatan China, salah satunya, badan keramik, setelah dibentuk kemudian dibakar (Birque Fired) untuk dikeraskan atau dimatangkan. Kemudian material hasil pembakaran tersebut dikilapkan kemudian di-glost fired untuk menyempurnakan kilaunya. Proses Glost Firing ini dilakukan pada temperatur yang lebih rendah dari Bisque Firing.


    **


    ASMUDJO Jono Irianto, dosen jurusan seni murni Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam percakapannya dengan "PR" mengemukakan, secara umum, keramik dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu keramik seni, keramik industri, dan keramik tradisi.


    Mungkin Anda telah mengetahui produk-produk apa saja yang termasuk ke dalam kategori keramik industri dan keramik tradisi. Namun baiklah, untuk sekadar mengingatkan, yang termasuk keramik industri adalah produk-produk seperti piring, gelas, ubin, dan barang-barang lainnya yang dibuat, dengan tujuan utama, untuk industri. Sementara itu, keramik tradisi adalah produk-produk seperti gentong, guci, dan lain sebagainya.


    Kini, yang menjadi persoalan adalah produk-produk yang dimasukkan ke dalam kategori keramik seni. Hingga saat ini, menurut Asmudjo, keramik seni ini masih diperdebatkan oleh banyak orang, mulai dari definisi hingga kepada produk-produk yang dapat dimasukkan ke dalam kategori keramik seni itu sendiri.


    Berdasarkan pengamatannya di lapangan, Asmudjo mengungkapkan bahwa keramik seni di mata orang-orang awam adalah keramik yang dapat dijadikan sebagai hiasan. Menurutnya, pandangan seperti itu tidaklah salah sekaligus tidak seluruhnya benar sebab keramik sebagai hiasan itu merupakan bagian keramik seni. Yang terpenting adalah keramik merupakan salh satu material kesenian, khususnya seni rupa yang dapat dijadikan media ekspresi seni individu.


    Namun, dalam perkembangannya, dalam seni keramik terdapat semacam kontradiksi. Sebagai contoh, karya-karya keramikus masih berpangkal pada keindahan, artinya nilai estetis yang ada telah dibentuk sejak sebelum karya itu dibuat. Seharusnya, dalam pembuatan karya seni yang bermediakan keramik, para pelaku karya itu sebisanya mengeksplorasi apa yang ada dalam batinnya, tanpa berusaha menilainya terlebih dahulu. Setelah proses pembuatan karya itu rampung, barulah nilai estetis itu akan muncul dengan sendirinya. Seni tidak lagi mementingkan estetis, tapi nilai itu ada di akhir.


    Dengan menafikan segala bentuk kontradiksi yang terjadi itu, Asmudjo mengatakan, seni keramik dapat dijadikan sebagai seni rupa kontemporer. Sebab, di barat, seni keramik sudah mendapat tempat di kalangan seniman sejak usai PD II, kendati baru pada era 1950-an upaya untuk menjadikan keramik sebagai media ekspresi dilakukan.


    Saat ini keramik sendiri masih menjadi medium kelas dua, di bawah seni lukis dan seni instalasi. Namun, ia memperkirakan, suatu saat, keramik mampu menjadi alternatif bagi para seniman untuk mengungkapkan ekspresi mereka.


    Di Indonesia, keramik sebagai seni dimulai oleh kalangan akademisi dengan memasukkannya dalam kurikulum pendidikan. Adapun yang menjadi pelopor pembentukan jurusan seni keramik di Indonesia adalah ITB pada tahun 1963. Pada era 1970-an, kecenderungan jurusan ini sudah ke arah keramik sebagai benda seni, bukan sebatas benda fungsional. Sayangnya, sampai saat ini, jurusan ini masih kurang diminati bahkan tidak populer di kalangan masyarakat, kalah oleh program-program studi lainnya. Sebab, sebagian masyarakat Indonesia masih beranggapan bagaimana mencari uang sebanyak-banyaknya setelah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi.


    Asmudjo melanjutkan, di ITB sendiri studi mengenai keramik terdapat dalam kurikulum dua jurusan yang berbeda, yaitu jurusan seni kriya dan jurusan seni murni.


    Di jurusan seni murni, lebih banyak diajarkan konsep-konsep pembuatan keramik. Sementara itu, di jurusan seni kriya, diajarkan tentang teknik pembuatan kermik dan berlanjut sampai mahasiswa mampu menghasilkan sebuah karya seni yang bercirikan individu. Di jurusan ini, walaupun yang dihasilkan mahasiswa itu keramik fungsional, tetap memiliki karakter personal.


    Selanjutnya, sebagai bahan mentah utama, khususnya untuk keramik di Indonesia dipergunakan tanah liat merah Plered yang cukup plastis untuk dibentuk sebagai keramik bakaran rendah (Earthenware), sedangkan untuk keramik bakaran tinggi (Stoneware) digunakan campuran bahan-bahan lokal lainnya seperti tanah Cipeundeuy (Ballclay), tanah Nagreg (kwarsa), tanah gunung Guruh (bisa dibakar lebih dari 1000 derajat Celcius), dan bahan lainnya yang mudah diperoleh. Berbagai macam perhitungan glasir memberikan kemungkinan didapatkannya bermacam-macam jenis glasir: mengkilap, buram, bertekstur, dan dan yang meleleh. Kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat digunakan pada karya-karyanya untuk ekspresi diri. Untuk mencapai kemampuan optimal dari lulusan, dilakukan pembimbingan dalam beberapa tahap:


    Tahap I: mahasiswa diberi gambaran tentang ruang lingkup seni keramik. Mengenal materi dan peralatan yang dapat menunjang pembentukan tanah liat dan teknik pembakaran yang sederhana tetapi tepat.


    Tahap II: adalah suatu tahap di mana eksplorasi diri mulai ditumbuhkan dan ditingkatkan sedemikian jauh sehingga mahasiswa memperoleh kesesuaian sikap dan cara dalam berkarya sebagai sarana unjuk kemampuan dalam mewujudkan setiap gagasan estetisnya.


    Tahap III: adalah tahap akhir yang merupakan tahap pematangan diri dan merupakan pula tahap pembuktian di mana kemampuan teknis telah menyatu dalam cipta karya yang bermutu seni.


    **


    SEMENTARA itu, Indonesia juga memunyai Balai Besar Keramik yang berada di Jalan Ahmad Yani, Bandung. Balai ini berada di bawah koordinasi Badan Penelitian Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Secara fisik, kita telah dapat memperkirakan bahwa keramik-keramik yang dibuat adalah keramik-keramik industri. Meski demikian, mereka menolak jika produk-produk yang dihasilkan adalah keramik indutsri melulu. Sebab, ada juga keramik yang berfungsi sebagai seni meski dalam bentuk hiasan, seperti guci.


    Balai keramik membagi produk-produk yang dihasilkannya ke dalam dua bagian, yaitu keramik berat, seperti refraktori, genting, dan keramik halus, seperti porselen.


    Saat ini mereka tengah mengembangkan Advanced Ceramic, seperti resisto (pelapis pesawat luar angkasa), kapasitor. Berbeda dengan Conventional Ceramic, seperti gerabah dan tembikar.


    Namun, di tengah kemajuan industri keramik dunia, Industri keramik Indonesia justru tidak mengalami kemajuan yang signifikan walaupun kemajuan dalam bidang keramik ini sudah menjadi tuntutan pasar. Menurut pihak Balai Keramik, hal ini terjadi karena sarana dan prasarana, berupa alat-alat, untuk mengembangkan industri keramik itu termasuk mahal. Selain itu, teknologi yang ada pun susah didapat. Sebab, bahan-bahan untuk keramik maju harus bahan yang lebih murni. Sebelum resesi, Indonesia merupakan negara pengekspor keramik keempat terbesar, namun setelah resesi, Indonesia turun satu tingkat menjadi urutan kelima.


    Ditambahkan, usaha-usaha untuk mengembangkan industri keramik, berupa penelitian-penelitian, tetap dilakukan, bahkan telah menjadi kegiatan rutin Balai Besar Keramik.


    **


    SENI keramik bukan hanya dikenal masyarakat Cina, Jepang atau Thailand seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Masyarakat Indonesia sendiri sudah pula mengenal keramik sejak lama. Selain sebagai wadah makanan, juga diapresiasikan sebagai hasil karya seni.


    Ada perbedaan yang bisa diamati pada keramik lokal dan asing. Keramik buatan lokal disebut dengan tembikar, biasanya permukaannya dibiarkan tanpa glasir (tanpa warna), sehingga warnanya tetap seperti tanah asli. Sementara itu, keramik asing, biasanya berglasir.


    Perbedaan lainnya juga terlihat pada bahan pembuatannya. Keramik asing, khususnya Cina, biasanya dibuat dari bahan kaolin yang warnanya putih. Bahan yang digunakan di Indonesia adalah tanah liat biasa, tergantung hasil alam yang ada di wilayah masing-masing.


    Bentuk keramik pun bermacam-macam. Ada vas bunga, mangkuk, piring, gelas atau hiasan untuk bangunan. Di antaranya ada yang berglasir dan ada pula yang tidak.


    Selain berfungsi sebagai pewarna keramik, glasir juga berfungsi untuk menutup pori-pori keramik, terutama pada jenis wadah, seperti piring dan gelas. Tujuannya untuk menahan air minum atau kuah agar tidak meresap ke dalam keramik ketika digunakan. (Hazmirullah/"PR")***

    Artikel ini pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat - Kamis, 21 Nopember 2002

    LihatTutupKomentar