Indonesia dalam Cakram

    Indonesia dalam Cakram

    Indonesia dalam Cakram

    Catatan kecil tentang dokumentasi film nasional oleh Hikmat Darmawan


    Film adalah sesuatu yang rapuh secara fisik. Jika kesan akan suatu film bisa tahan sepanjang hayat, film itu sendiri - tanpa perawatan yang tepat - bisa pudar hanya dalam waktu beberapa tahun. Itulah sebabnya saya iri setengah mati dengan perlakuan terhadap trilogi Star Wars yang menyegarkan kembali film lama dengan segenap perangkat teknologi film paling maju saat kini. Dan itu sebabnya pula saya merasa amat gembira ketika melihat Ibunda (Teguh Karya) dan Kembang Kertas (Slamet Rahardjo) dijual dalam bentuk VCD. Sudah saatnya!


    Tapi seorang rekan bercerita: ia setengah dipaksa untuk menyewa kedua film itu di rental VCD langganannya. Habis, kata si penjaga rental, film-film itu tak laku sih! Teman saya - saya bisa jamin ia punya cinta yang cukup pada budaya nasional - berkata, nanti-nanti saja ah!; lalu ia memilih judul-judul terbaru film-film Hollywood yang memang membanjir bulan-bulan kini.


    Itulah sketsa. Tak bisa dipungkiri bahwa film-film nasional - sebagaimana banyak produk budaya nasional lainnya - selalu kalah menarik di mata kebanyakan kita. Preservasi (produk) budaya jadi soal yang sulit. Maksud hati tak ingin karya-karya anak negeri punah, apa daya tawaran para londo Hollywood lebih memikat mata.


    Sejarah yang hilang


    Adalah sebuah keuntungan masa modern jika film menjadi perekam sejarah yang baik. Mungkin memang kebanyakan film kita tak genah dilihat. Tapi tidakkah menarik, misalnya, jika kita menjajarkan sekian film nasional yang ber-setting Jakarta dari rentang era 1950-an hingga era 1990-an? Dengan demikian akan terhimpun banyak informasi sosio-kultural yang kaya tentang proses Jakarta menjadi metropolitan: dari masa jalanan lengang melompong hingga masa munculnya rimba beton; dari masa Jakarta bagai Yogya (penuh sepeda dan becak), lalu masa oplet, motor trail hingga masa mobil sport; atau dari masa kaum lelaki bercelana jengki, lalu bercelana cutbrai hingga masa jeans belel.


    Rekaman macam itu bukan cuma demi nostalgia, tapi terutama demi kesadaran sejarah. Ada sesuatu yang salah dalam pendidikan sejarah kita sekarang. Bangsa kita mengalami amnesia yang akut. Banyak sekali 'lubang hitam', masa dan tempat yang tak terjelajah oleh, misalnya, anak-anak yang lahir di masa Orde Baru - dan ironisnya, 'lubang hitam' itu menyangkut masa yang tak terlampau jauh dari sekarang.


    Saya, misalnya, buta (dalam arti, tak mampu memvisualkan) sama sekali periode 1950-an: saya tak punya acuan otentik tentang, misalnya, cara bercinta masa itu, atau cara masyarakat berinteraksi, atau serba masalah manusia dan bangsa ketika itu. Apalagi masa-masa revolusi. Atau masa kebangkitan nasional. Atau "jaman edan"-nya Ronggowarsito, saat ia menyaksikan kemodernan menjejakkan kakinya di tanah Jawa lewat pembangunan rel kereta yang pertama di tanah air, di akhir abad lalu. Di benak saya, yang terpampang hanyalah sebuah layar hitam yang mengerikan! Sebutlah sekian nama dari khasanah sejarah kita, sekian tahun atau sekian tempat, sebut sekian peristiwa - kebanyakan tak lebih dari huruf-huruf dan angka-angka yang mati, tanpa dimensi, tanpa emosi, tanpa nyawa.


    Saya lebih melek terhadap sejarah Amerika atau Eropa pada periode yang sama (atau masa yang lebih lampau lagi) karena tak sulit bagi saya mencari acuan visual untuk itu: praktis saya dikepung oleh rekaman-rekaman sejarah Amerika dan Eropa di televisi, VCD, laser dan bioskop-bioskop. Saya cukup menyaksikan serial Chaplin, Three Stooges atau Laurel & Hardy untuk bisa membayangkan dengan amat nyata bagaimana hidup di Amerika tahun 1930-an. Saya cukup memutar laser Casablanca untuk bisa mengerti bahasa cinta orang Amerika & Eropa di tahun 1940-an. Saya menjadi warga Indonesia dengan muatan sejarah Amerika/Eropa. Bisakah Anda bayangkan bagaimana keadaan generasi "anak-anak televisi" yang muncul sekarang?


    Alhamdulillah, saya masih beruntung sempat menyaksikan cuplikan sejarah Indonesia yang hilang itu saat - secara tak sengaja, dalam kesempatan amat langka - menyaksikan film macam Tiga Dara, Enam Djam di Djogja atau Matjan Kemajoran. Syukur juga saya masih bisa bernikmat-nikmat membaca, sehingga bisa mengintip masa-masa yang hilang itu lewat sastra, biografi atau kajian akademis (itu pun kebanyakan ditulis oleh para ahli dari luar negeri).


    Sastra kita terhitung yang paling kuat dan paling menarik dalam berupaya mengisi lubang-lubang sejarah Indonesia. Lewat sastra, sejarah dihidupkan. Lewat Burung-burung Manyar, saya mendapat bantuan menghidupkan kerumitan perang revolusi. Karya-karya Pramodya Ananta Toer (khususnya Perburuan, Keluarga Gerilya dan Di Tepi Kali Bekasi) bahkan bisa dengan amat hidup mengabarkan alangkah pahit hidup bangsa kita saat itu. Lalu dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (juga cerpen-cerpen Umar Kayam dalam kumpulan Sri Sumarah), saya merasakan kengerian dan tragik peristiwa G-30-S PKI, serta betapa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru bukan sesuatu yang mudah dan banyak menelan biaya sosio-kultural.


    Mestinya film juga bisa menghidupkan sejarah seperti itu. Dan karakter mediumnya yang audio-visual, yang lebih mudah dicerap oleh massa ketimbang bacaan, akan membantu sejarah menemui publik yang luas. Ada dua cara menghidupkan sejarah lewat film. Pertama, dengan merekonstruksi atau membuat cerita bertema sejarah. Contohnya (yang kurang berhasil) adalah Fatahillah, Janur Kuning atau (yang lebih berhasil) RA Kartini, Doea Tanda Mata, November 1828 dan Tjoet Nyak Dien. Cara itu mencakup juga upaya pembuatan film dokumenter (seperti yang dilakukan Garin Nugroho dengan Dongeng Kancil Tentang Kemerdekaan). Kedua, dengan memelihara baik-baik film-film yang telah ada, agar acuan visual tentang masa ketika film itu dibuat tidak lenyap begitu saja.


    Preservasi: bermula dari apresiasi

    Saya akan memusatkan pada cara kedua. Suatu saat nanti, film-film macam Si Doel Anak Modern (Syumanjaya), Di Balik Kelambu (Teguh Karya), Rembulan dan Matahari (Slamet Rahardjo), Al Kautsar (Chaerul Umam) atau Matahari-matahari (Arifin C. Noer) akan menjadi salah satu acuan penting tentang sosok manusia Indonesia tahun 1970-an dan 1980-an (disamping, tentu saja, menjadi acuan penting perkembangan film nasional - dan itu peran yang juga amat penting). Juga film-film tahun 1990-an seperti Badut-badut Kota (Ucik Supra) dan Lagu Untuk Seruni. Tapi kemana kita akan mencari film-film itu nanti? Hanya menanti diputar di televisi swasta, di jam-jam yang jarang ditonton orang? Atau bersusah payah ke Sinematek Indonesia?


    Soalnya adalah, kesadaran kebanyakan kita untuk memelihara sesuatu tampak amat minim. Walau tidak ilmiah, coba saja tengok telepon-telepon umum kita untuk melihat indikasi itu. Atau bagaimana orang Jakarta memperlakukan sungai Ciliwung.


    Atau lihat perlakuan kita terhadap musik kita sendiri. Lagu-lagu pop lama (misalnya dari Koes Ploes, D'Lyod, atau Bimbo) memang tampak bangkit kembali. Tapi betapa sulitnya kita menemukan album monumental Guruh Soekarno Putra yang memuat Chopin Larung. Atau, dimanakah karya-karya Indra Lesmana ketika baru mendalami piano di Australia yang dipuji oleh majalah Jazz dunia Down Beat? Betapa sedih saya ketika mendengar selentingan bahwa album musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono yang pertama, Hujan Bulan Juni (antara lain memuat lagu Aku Ingin yang digunakan Garin dalam Cinta Dalam Sepotong Roti), tak bisa lagi diproduksi karena master rekamannya telah rusak (sementara kaset saya telah rusak juga).


    Belajar dari kasus musik, tampak bahwa lagu-lagu lama yang 'selamat' terpelihara (di-master ulang, bahkan ada yang secara digital) adalah lagu-lagu yang kini punya pasar. Artinya, belum muncul iklim preservasi yang optimal: keinginan kita untuk memelihara suatu produk budaya sepenuhnya takluk pada logika pasar.


    Demikianlah, film-film kita pun harus megap-megap di negara dengan iklim preservasi yang parah ini. Di Amerika, karena jalur distribusi film tak cuma satu (tak ada monopoli jaringan bioskop di sana, melainkan ada banyak jaringan, dan banyak juga bioskop-bioskop independen), film-film yang diputar pun bisa amat bervariasi. Maka film-film lama selalu punya kesempatan untuk diputar ulang di bioskop pada waktu-waktu khusus. Televisi pun punya waktu khusus untuk memutar film-film lama. Bahkan ada saluran kabel yang khusus memutar film-film lama. Akses untuk memiliki film-film lama itu pun - baik dalam bentuk video, laser, VCD, dan, belakangan, DVD - relatif mudah. Belum lagi jika kita menghitung sinematek-sinematek mereka, plus kineklub-kineklub yang menjamur di sana.


    Membandingkan dengan Indonesia, kondisi tersebut tampak terlalu utopis. Tak terbayangkan jaringan bioskop 21 mau memutar karya-karya 'klasik' Usmar Ismail, D. Djajakusuma dan sekian empu film kita, yang telah mati maupun yang masih hidup (apalagi kelompok 21 punya argumen yang jitu: siapa yang mau menonton?). Lembaga pengarsipan film Sinematek Film Indonesia baru didirikan tahun 1975 - terhitung telat untuk sekian puluh tahun sejarah film nasional yang telah berlalu. Jalur kineklub juga tak tumbuh subur. Yang ada pun kini tak berkegiatan lagi.


    Untung di masa boom video (akhir 1970-an dan awal 1980-an) cukup banyak film nasional yang direkam - misalnya, oleh Trio Video Tara. Tapi rekaman-rekaman video itu pun bisa berjamur, rusak dengan mudah (disamping secara gambar belum memuaskan), dan kini tak dijual lagi. Kesempatan kita melihat Indonesia di masa lampau lewat film-film lama paling dengan menonton TPI, AN-Teve atau SCTV: ketiganya terhitung paling rajin memutar film-film lama (khususnya yang tahun 1970-an dan 1980-an) - kadang judul yang diputar adalah tonggak dalam film nasional - sayangnya di jam-jam yang jarang ditonton orang.


    Disitulah arti penting peristiwa kecil penjualan VCD Ibunda dan Kembang Kertas tadi. Sengaja atau tidak, tampak sebuah kesadaran teknologi yang tepat. Memang, secara teknologis, apa sulitnya memindahkan (sepenggal) Indonesia ke dalam cakram-padat (CD, Laser, VCD, DVD)? Yang sulit, memang, adalah menumbuhkan kemauan. Dan kemauan bisa dengan mudah luruh ketika Sang Pasar mensabdakan bahwa Indonesia tidak laku di toko-toko.


    Jika kita bersandar pada sabda pasar, maka tak heran jika film macam Misteri Janda Kembang-nya Sally Marcelina atau film-film bertema seks asli buatan dalam negeri lebih diutamakan dalam produk laser-disc ketimbang, misalnya, Langitku, Rumahku (Slamet Rahardjo) yang mendapat penghargaan di manca negara. Mestinya pendayagunaan teknologi untuk preservasi produk budaya kita jangan cuma mengandalkan logika pasar. Preservasi mestinya bermula dari apresiasi. Tanpa penghargaan, tanpa semacam "cinta yang keras kepala" (istilah Goenawan Mohamad bagi motif para pencinta sastra yang selalu di pinggiran), preservasi karya-karya anak negeri adalah sesuatu yang nonsen, dan akan selalu digusur oleh pertimbangan-petimbangan pragmatik.


    Setelah apresiasi, yang diperlukan adalah political will. Pemerintah dan "orang-orang kaya negeri ini" (para konglomerat, perusahaan-perusahaan besar) perlu melakukan sesuatu. Pemerintah, misalnya, kalau memang tak mampu memberi dana, setidaknya bisa mengaktifkan atau kondusif terhadap berbagai program dan kegiatan untuk menumbuhkan iklim preservasi budaya. Pemerintah bisa menggerakkan siswa-siswa sekolah untuk ikut dalam program penajaman apresiasi budaya (misalnya, menanam bibit-bibit kineklub di SMU-SMU terpilih, menyelenggarakan lomba apresiasi film - kenapa tidak?).


    Sementara para konglomerat dan berbagai perusahaan bisa juga mencanangkan program preservasi budaya sebagai bagian dari image-making yang kini terasa makin perlu. Apalah arti uang yang dikeluarkan untuk program-program preservasi budaya (salah satunya, preservasi film nasional) dibanding uang yang telah didapat? Tidakkah para konglomerat dan perusahaan-perusahaan besar merasa perlu berterimakasih kepada Indonesia (bukan cuma "pemerintah"-nya, tapi juga "masyarakat"-nya)? Apalagi akan timbul kesan yang baik dalam masyarakat karena "ucapan terima kasih" tersebut - yang pada gilirannya toh akan meningkatkan daya jual juga (kalau masih mau mencari-cari alasan pragmatis). Atau kita mesti menunggu era Pasar Bebas, dan berharap para pengusaha manca negara yang membuka ladang di halaman rumah kita lebih punya kesadaran budaya?


    Memelihara film nasional adalah bagian dari memelihara sejarah. Apa arti sebuah bangsa, apakah arti seorang manusia, jika mereka/ia telah kehilangan sejarah?


    *Penulis adalah redaktur rumahfilm.org. Lebih dikenal sebagai pengamat komik, mengawali karir menulis dengan mengamati berbagai segi budaya populer, buku, dan film. Tinggal di Jakarta.

    source: rumahfilm.org
    LihatTutupKomentar