Bergman, oh Bergman! [RIP Ingmar Bergman]

    Bergman, oh Bergman! [RIP Ingmar Bergman]
    img/wikia.org

    Bergman, oh Bergman!

    oleh Asmayani Kusrini (Redaktur Rumahfilm.org)


    Hari itu, Senin, 30 Juli 2007 seorang teman mengirim pesan singkat: “RIP. Ingmar Bergman.” Padahal, teman itu sedang mempersiapkan sebuah workshop film yang akan mengundang Bergman. Saya ingat tahun lalu, dalam sebuah acara retrospektif karya-karya Bergman di Musee Du Cinema, Brussels, saya berencana untuk mengajukan permohonan wawancara. Sayang, saat itu Bergman batal hadir. Kondisi kesehatannya memburuk. Saya pikir, lain kali saya pasti bisa menemuinya langsung. Ternyata 30 Juli lalu, dia pergi.


    Tentu saja, saya tidak sedih. Sedikit berkabung mungkin lebih tepat. Sayangnya, berita-berita di koran tidak ada yang memuat secara detail tentang kematiannya di pulau kecil Faro, tempatnya menetap dan hidup tenang sejak tahun 1966. Padahal, saya ingin tahu, apakah semua anak-anak yang tidak pernah dipedulikannya itu hadir? Apakah semua wanita-wanita –kecuali yang sudah meninggal—yang pernah dicampakkannya berkumpul mengiringinya pergi? Dan apakah dia sudah berdamai dengan kebencian yang dalam terhadap ayahnya sebelum bersatu di alam sana?


    Saya tidak mengenalnya, tentu saja. Tapi saya menonton film-filmnya. Dan setiap kali saya menonton film Bergman, saya selalu mendapat kesan bahwa tidak mungkin ia membuat film-film itu, menulis dialog-dialognya, kecuali jika ia mengalaminya sendiri. Keyakinan saya terjawab ketika saya membaca otobiografinya, The Magic Lantern dan Images: My Life in Film. Bergman lahir dalam sebuah lingkungan yang rumit, dan tumbuh sebagai pribadi yang tak kalah rumitnya.


    Film-film Bergman seperti sebuah cermin yang dihadapkan padanya. Bagai sebuah upaya untuk menengok ke belakang sejenak. Upaya mencari sisi pahit dari hidupnya dan mengulangnya kembali di atas panggung atau di atas layar perak, atas nama kepuasan batin sebagai sang penentu. Tapi semua yang dilakukan Bergman bukanlah upaya untuk introspeksi diri menjadi lebih baik. Film, bagi Bergman, adalah perwujudan dirinya sebagai ‘Tuhan’. Dia membenci Tuhan dan semua kekuasaannya atas nasib. Hanya dunia film dan panggung lah yang memungkinkan dia menjadi penguasa untuk menentukan sang nasib.


    Bergman dan Perempuannya

    Film Ingmar Bergman yang saya tonton pertama kali, justru adalah filmnya yang terakhir Saraband. Sebuah mini seri sepanjang 220 menit yang dibuat khusus untuk stasiun TV Sveriges Television di Swedia tahun 2003. Setelah ditayangkan di TV Swedia, Saraband kemudian diedit menjadi 107 menit untuk memenuhi standard layar lebar.


    Usai menonton Saraband, saya berpikir, pembuatnya pasti agak ‘sakit’. Kok bisa-bisanya terpikir menciptakan tokoh seorang ayah, Johan, begitu pelit terhadap anak sendiri, Henrik; tak mau meminjamkan duit ke Henrik yang menghiba-hiba. Sementara mereka berebut perhatian Karin, anak Henrik dan cucu Johan. Henrik malah tidur seranjang dengan Karin. Ketahuan oleh Marianne, mantan istri Johan yang bukan ibu Henrik. Marianne kebetulan datang berkunjung, dan kemudian ikut terperangkap di tengah-tengah konflik bapak-anak-cucu itu.


    Saya lahir dan besar di tengah keluarga yang harmonis. Tak ada konflik berarti dan hubungan keluarga berada di jalur yang saya anggap ideal. Orang tua saya membesarkan anak-anak dengan membuat anak-anak mencintai orang tuanya dan sebaliknya.


    Saraband, jauh dari gambaran ideal itu. Yang terasa hanya kebencian yang akut, seakan mereka hidup untuk saling menyakiti dan saling balas membalas dendam. Sementara, sang cucu adalah korban dari ego keduanya. Henrik dan Johan begitu posesif terhadap Karin. Dan lewat tokoh Marianne, kita pun tahu, Johan adalah ayah dan suami yang gagal pula.


    Saya sempat tertawa: pahit betul hidup tua yang dibayangkan sang sutradara. Bukankah pada umumnya orang membayangkan akan menghabiskan hari tua dengan damai, dikelilingi oleh cinta? Lewat Saraband, Bergman jelas tak membayangkan hari tuanya seperti itu. Kalau memang benar, jujur dan berani betul si Bergman.


    Bukan kebetulan kalau tokoh si cucu dinamai Karin. Hampir 80% tokoh utama perempuan di film-film Bergman diberi nama Karin. Dalam kehidupan nyata, nama ibu Bergman adalah Karin. Dia pernah mengaku, “I’m very much in love with my mother.” Ayahnya, Erik, dianggap saingan. Suatu kali Bergman bahkan berpikir untuk membunuh ayahnya hanya karena merasa ibunya lebih mementingkan sang ayah daripada ia. Bergman juga hampir membunuh adik perempuannya ketika baru lahir, hanya karena ibunya harus mencurahkan perhatian lebih kepada si jabang bayi. Umurnya kala itu baru 4 tahun.


    Bergman sangat membenci ayahnya. Dan seperti kutukan dalam keluarga itu, Bergman sendiri gagal sebagai ayah. Salah seorang dari sekian banyak anaknya dengan garang pernah berteriak, “A father? Since when you’re become my father? You never act as one!”


    Saraband merupakan sekuel dari Scenes From Mariage (1972). Setelah menonton Scenes From Marriage, saya semakin paham kehidupan Bergman jelas tergambar di film itu. Bagi yang belum menikah, Scenes From Marriage akan membuat orang berpikir kembali sebelum memutuskan. Bagi yang sudah menikah, film ini akan membuat Anda bertanya kepada diri sendiri, benarkah pernikahan Anda bahagia seperti tampaknya?


    Pertanyaan itulah yang membuka adegan di Scenes From Marriage. Johan dan Marianne dalam film itu diperankan oleh Erland Josephson dan Liv Ullmann. Mereka adalah pasangan muda dengan dua putri mereka. Mereka bahagia, setidaknya menurut mereka. Tapi ketika ditanya apa kebahagian itu, mulailah Johan dan Marianne tergagap. Dan Scenes seperti terus menggali hingga ke dasar lubuk hati, seperti memburu tokoh-tokohnya untuk tidak lagi berpura-pura bahwa ada yang salah dan terlewat dalam pernikahan mereka. Bukan sekadar komunikasi yang tidak jalan, tapi juga benturan ego dan ketidakpercayaan dengan pasangannya.


    Secara visual, Scenes From Marriage tidaklah neko-neko. Lokasi dan latar belakang sederhana yang mengingatkan saya pada drama-drama TVRI jaman dulu. Gambar pada umumnya disyut di ruang studio yang kadang diubah menjadi ruang kantor, ruang makan, dan sebagainya. Kekuatan Scenes adalah pada dialog yang begitu nyata, interaksi antar tokoh; dan tentu saja akting gemilang Ullman dan Josephson, artis dan aktor favorit Bergman.


    Dialog-dialognya yang begitu nyata membuat saya yakin bahwa skenarionya ditulis berdasarkan pengalaman sendiri bercerita tentang seorang suami yang mencoba untuk jujur, seorang istri yang mencoba untuk menerima. Di bukunya, Magic Lantern, Bergman mengakui bahwa Scenes from Marriage memang dialaminya sendiri.


    Adegan dan dialog ketika Johan mengaku punya perempuan lain dan akan meninggalkan Marianne juga dialami oleh Bergman ketika terpikat oleh seorang jurnalis, Gun Hagberg. Johan langsung pergi meninggalkan Marianne tanpa mengucapkan selamat tinggal pada anak-anak mereka. Begitu pula Bergman. Kala itu, Bergman dan Ellen, istri keduanya, sudah memiliki 4 anak (dua diantaranya kembar), ketika ia memutuskan untuk pergi ke Paris bersama Gun. Cobalah perhatikan adegan ini di bagian Paula, salah satu sekuen di Scenes From Marriage.


    Bergman punya banyak referensi dari pengalamannya sendiri. Ia menikah lima kali, dan menjalin hubungan dengan hampir semua artis-artis di filmnya, dari Harriet Andersson, Bibi Andersson, hingga Liv Ullmann. Belum lagi affair-nya dengan para kru.


    Hampir semua skandalnya itu bisa disimak di Saraband, Scenes From Marriage, A Lesson In Love (tentang hingar bingar kehidupan perkawinan yang diwarnai perselingkuhan), Journey into Autumn (tentang seorang wanita yang tergila-gila dengan pria beristri), Smiles Of A Summer Night (tentang konflik cinta segi banyak), The Naked Night (lagi-lagi tentang orang-orang menikah yang tak tahan godaan), All These Women, The Ritual, The Passion Of Anna, hingga After The Rehearseal yang seperti sebuah kesimpulan dari semua skandal-skandal itu.


    Bergman memang bukan lelaki yang bisa diharapkan untuk setia. Ia mencatat dan merekam dalam ingatan, hampir setiap detail peristiwa-peristiwa yang dialaminya itu dan meramunya dengan lincah dalam film-filmnya. Karena itulah, meski semua film-film di atas bertema sama--kehidupan rumah tangga yang penuh konflik--Bergman tak pernah kehabisan bahan untuk ramuan ceritanya.


    Mungkin itu juga yang membuat setiap dialognya begitu membumi, konflik-konfliknya begitu nyata. Untuk hal yang satu ini saya harus mengakui, Bergman –bukan sebagai pria, tapi sebagai sutradara dan penulis skenario-- memang yang terbaik. Ia bisa memanipulasi semua perempuannya, menjadikan mereka objek penelitian emosi, dan hasilnya bisa disaksikan dalam film-filmnya.


    After The Rehearseal, mungkin adalah pengakuannya. Di film yang berlatar belakang sederhana itu, seorang sutradara teater yang menua duduk termenung mengenang yang sudah sudah. Lalu ia didatangi seorang artis muda yang menggoda. Kemudian muncul karakter ketiga, seorang artis yang lebih tua. Dan ketiganya, --seperti terperangkap dalam permainan puzzle sang sutradara—punya hubungan yang bisa diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang.


    Sang artis yang lebih tua adalah mantan kekasih dari sekian banyak kekasih sang sutradara. Artis yang lebih muda, mungkin jutsru adalah anak mereka. Bukankah dalam kehidupan nyata, Bergman memiliki affair dengan Liv Ullmann dan menghasilkan Linn Ullmann?. Tentu saja After The Rehearseal tidak secara gamblang memaparkan kisah Bergman-Ullmann itu mentah-mentah.


    After The Rehearseal lebih banyak bermain dengan interpretasi, mungkin juga bagian dari fantasi Bergman. Ia seperti ingin berandai-andai. Dan Bergman membiarkan penontonnya –juga saya— menduga-duga. Tapi yang lebih penting, film ini adalah pengakuan Bergman, bukan pengakuan bersalah, tapi pengakuan bahwa dalam kehidupan nyata pun, ia bisa menjadi penguasa atas nasib.


    Para kekasihnya diperlakukan seperti karakter-karakter ciptaan yang bisa ia hancurkan kapan saja. Bergman tak peduli apakah itu menghancurkan hidup mereka, bahkan tak peduli apakah perbuatannya menghancurkan hidupnya sendiri. Ini dilakukan atas nama kreativitas untuk menjadi ‘penentu nasib’. Menyakitkan? Memang. Dan itulah yang disadari oleh sang sutradara yang menua di After The Reheraseal.


    Selain hubungan pria dan wanita, Bergman juga lihai bermain dengan hubungan tak sedap antara ayah/ibu dan anak-anak mereka. Selain Saraband, film yang paling berkesan tentang hubungan orang tua dengan anaknya adalah Autumn Sonata (1978). Film ini bercerita tentang seorang pianis kelas dunia yang sukses dan egois. Charlotte (Ingrid Bergman), sang pianis, memiliki dua orang putri yang terabaikan. Ia sibuk keliling dunia, mengejar popularitas. Tapi di depan kedua putrinya, Eva (Liv Ullman) dan Helena (Lena Nyman), Charlotte selalu tampak sebagai ibu yang penuh kasih sayang dan cinta. Toh, kedua putrinya tak bisa ditipu. Meski kata ‘cinta’ sering terdengar dari mulut ibu mereka, sikap dan lakunya dingin dan hambar.


    Sekali lagi, seperti film-film Bergman yang lain, Autumn Sonata terus mendorong karakter-karakternya ke pengakuan jujur yang paling murni meski menyakitkan. Eva yang selalu mengagumi ibunya, toh pada akhirnya tak tahan dan mendamprat sang ibu yang penuh kepura-puraan. Charlotte bahkan tidak peduli bahwa Helena yang cacat itu juga akibat dari ketidakpedulian sang ibu. Dampratan Eva tentu saja membuat Charlotte shock. Pada akhirnya, toh kita paham, air mata yang dikeluarkannya di depan Eva bukan air mata penyesalan seperti yang diharapkan, tapi lebih berupa penyesalan karena ia menghabiskan waktunya yang berharga hanya untuk mendengarkan kecaman Eva.


    Bergman juga mengaku bahwa karakter Charlotte adalah penggambaran dirinya. Jika disimak, dalam setiap drama keluarga, Bergman nyaris tak pernah menyinggung soal anak-anak. Dalam Scenes From Marriage misalnya, dikisahkan bahwa pasangan Johan-Marianne memiliki dua putri. Tapi keduanya nyaris tak pernah nampak di layar, nyaris tak pernah terpikirkan. Yang nampak selalu dua orang egois yang hanya peduli dengan perasaan masing-masing.


    Bergman juga punya hubungan yang buruk dengan anak-anaknya. Ia tercatat memiliki 9 orang anak yang diakuinya resmi dari perempuan yang berbeda. Dalam buku otobiografinya, The Magic Lantern, tak sekalipun Bergman ingin tahu tentang perasaan anak-anaknya. Ia hanya tahu, bahwa ketika ia selingkuh dengan si B, si A sedang mengandung anaknya. Dan ketika ia meninggalkan si C, si D baru saja melahirkan anaknya yang lain, dan ketika dia berasyik masyuk dengan si F, dia harus mengirim uang bulanan ke anaknya dengan si E yang sedang berada di rumah sakit, dan begitu seterusnya.


    Saya bahkan ragu, Bergman mengingat nama-nama kesembilan anaknya. Bergman sangat tidak suka dengan perasaan sentimentil terhadap hubungan orang tua dan anak. Perasaan itu disebutnya ‘emotional blackmail’. Sikapnya dengan anak-anaknya itu pun persis dengan Charlotte di Autumn Sonata. Selalu terlihat sayang, tapi palsu. Dan seperti Charlotte, Bergman pun pernah kena damprat dari salah seorang anaknya. Pedulikah Bergman? Saat kena damprat dari anaknya itulah, Bergman lantas berpikir, adegan tersebut bagus untuk film selanjutnya. Maka jadilah Autumn Sonata yang membuat Bergman mendapat nominasi Oscar dan sejumlah penghargaan bergengsi lainnya.


    Bergman, sang pembohong dan Tuhan

    Ingmar Ernest Bergman lahir 14 Juli 1918 di Uppsala, Swedia. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Ketika si kecil Ingmar lahir, ibunya sedang menderita influenza parah yang membuatnya tak bisa makan, dan sang bayipun sekarat karena kekurangan gizi. Si Ibu juga tak mampu memberinya air susu. Neneknya lah yang menyelamatkan Ingmar dari kematian. Tapi sejak itu, Ingmar sering menderita perih kembung dan pada saat-saat tertentu selalu muntah. Penyakit ini tumbuh bersamanya hingga tua.


    Sebagai anak penyakitan, Ingmar kecil yang cengeng selalu haus perhatian terutama dari sang Ibu. Tapi sebagai anak seorang Pastor yang taat, perhatian kedua orang tuanya banyak tercurah pada urusan gereja dan umat. Karena itu ia membenci Tuhan, hal abstrak yang disembah kedua orang tuanya. “Bagaimana mungkin mereka bicara tentang kasih Tuhan sementara mereka tidak memerdulikan aku? Bagaimana mungkin mereka lebih perduli terhadap mahluk itu daripada anak sendiri?” Begitu pikir Ingmar.


    Bergman juga benci dengan kisah Abraham yang tega mengorbankan anaknya sendiri demi Tuhan. “Kalau sampai ayah akan memotongku juga dan malaikat terlambat datang, bagaimana nasibku?” Dalam buku hariannya, ia pernah menulis, “I hated GOD and Jesus, specially Jesus with his revolting tone of voice, his slushy communion and his blood. God didn’t exist. No one could prove he existed. If he existed, then he was evidently a horrid god, petty minded, unforgiving and biased”.


    Menurut Bergman, satu-satunya bukti nyata bahwa hidup kemungkinan ada hubungannya dengan Tuhan adalah kematian. Karena itu, film-film Bergman juga banyak bermain-main dengan kematian. Bergman lah yang pertama kali dalam sejarah film, mewujudkan kematian sebagai sebuah sosok nyata dan bermain catur pula di The Seventh Seal. Lagi-lagi, Seventh Seal adalah upaya Bergman menyaingi Tuhan. Seakan ia ingin bilang, aku pun bisa mengatur bahkan bermain-main dengan kematian. Lihatlah, aku suruh dia main catur!.


    Di film Cries and Whisper juga terlihat upaya Bergman mengamati kematian, sebuah objek yang belum sanggup ditaklukkannya. Cries bercerita tentang 3 orang bersaudara (Maria oleh Liv Ullmann, Agnes oleh Harriet Andersson, dan Karin oleh Ingrid Thulin) dan seorang pelayan perempuan, Anna oleh Kari Sylwan. Keempatnya berkumpul untuk menemani Agnes, bungsu dari tiga bersaudara tersebut yang sedang sekarat menunggu wafat. Tak diragukan lagi, adegan ini terinspirasi dari saat-saat kematian ibu Bergman. Bahkan dialognya pun dikutip dari percakapan dengan sang ibu sebelum pergi. (Oh Bergman, bahkan ibumu yang sedang sekaratpun kaujadikan objek. Di samping ranjang tidur ibumu, di tengah-tengah airmatamu, pikiranmu melayang untuk segera menuliskan adegan itu dalam bentuk skenario!)


    Cries and Whisper memang tak melulu mengamati kematian dari jarak dekat, tapi juga (sekali lagi) tentang hubungan tak sehat antar saudara sendiri. Sekali lagi Bergman memaksa karakter-karakternya untuk menunjukkan sisi gelap masing-masing. Jujur, iya! Menyakitkan, sangat ! Dan bagi saya, inilah film terbaik dari yang terbaik yang pernah dibuat Bergman. Di film inilah, Bergman berhasil menunjukkan keahliannya dalam mendalami sisi psikologis manusia. Film yang membuat Sven Nykvist mendapat gelar sebagai sinematografer terbaik dan membuat Bergman dinominasikan sebagai sutradara sekaligus penulis skenario terbaik pada 1972.


    Kebencian Bergman terhadap Tuhan sudah parah sejak kecil. Apalagi ayahnya selalu mengatasnamakan Tuhan untuk segala hal. Dan atas nama Tuhan juga, Ingmar selalu terkena hukuman. Entah itu tak diberi makan, entah itu dikunci dalam lemari, dan berbagai macam hukuman lainnya. Ia merasa, orang tuanya penuh tipu daya. Ayahnya, yang selalu bicara tentang kasih sayang didepan umat, tidak pernah menunjukkan kasih sayang itu kepadanya. Apalagi, keluarga pastor Bergman yang nampak harmonis itu toh tak seindah luarnya. Ingmar sering mendapati kedua orang tuanya bertengkar hebat. Ibunya bahkan pernah mengaku punya kekasih lain. Tapi demi menjaga nama baik dan gereja, mereka tetap bertahan.


    Di depan orang banyak, ibunya juga selalu nampak taat patuh kepada sang ayah. Karena itu, Ingmar selalu mencoba berbagai macam cara untuk memenangkan perhatian ibunya. Pura-pura sakit. Pura-pura hampir mati. Dan segudang pura-pura lainnya. Tapi perhatian ibunya, tak pernah membuat Ingmar merasa cukup. Apalagi ketika adik perempuannya lahir. Perhatian Karin akhirnya terbagi. Karena itu, Ingmar membenci adiknya, Margareta.


    Karena dendam, Ingmar bahkan tega membunuh bakat sang adik sebagai penulis. “I wrote badly, affectedly and was much influenced by Hjalmar Bergman and Strindberg. Then I found the same strained, laboured style in my sister’s writing and murdered her attempt without recognizing that this was her only means of expression.” Sejak itu, Margareta berhenti menulis.


    Kecintaannya kepada sang ibu, Karin, sempat membuat khawatir seorang psikater anak sehingga menyarankan agar Karin tidak terlalu memanjakan Ingmar. Sejak itu, sikap pura-pura Ingmar makin menjadi-jadi. Awalnya untuk menarik perhatian sang ibu, lama-lama menjadi kebiasaan, dan akhirnya mendarah daging.


    “I think I came off best by turning myself into a liar”. Di sekolah, Ingmar terkenal sebagai pembohong atau lebih tepatnya, pengkhayal ulung. Ia suka berkhayal dan menceritakan khayalan itu kepada teman-temannya sebagai suatu yang nyata. Misalnya, Ingmar pernah mengaku bahwa Pastor Bergman bukanlah ayah kandungnya. Ayah yang sebenarnya adalah seorang aktor terkenal. Ceritanya ini tersebar di seluruh sekolah dan membuatnya kena hukuman.


    Ingmar dendam setengah mati terhadap teman sekolah yang menceritakan khayalannya itu kepada guru mereka. Ketika teman sekolahnya itu terkena polio dan akhirnya meninggal, Ingmar mengaku puas bukan main.


    Semua hubungan rumit keluarga Bergman dan sekelilingnya itu kurang lebih bisa disaksikan dalam filmnya, Fanny and Alexander. Segala kisah, semua karakter, dan semua pertanyaannya tentang Tuhan serta kematian, tercurah dalam film yang pernah mendapat Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik pada 1982 itu.


    Fanny and Alexander adalah film terakhir Bergman yang saya tonton hingga saat saya menulis artikel ini. Kisah hidup Bergman sama berlikunya dengan film-filmnya. Bergman pernah ditangkap polisi karena tuduhan menggelapkan pajak. Tuduhan itu akhirnya dicabut, tapi Bergman terlanjur sakit hati.


    Ia pun meninggalkan Swedia dan menetap di Jerman. Ini membuat dunia teater di Swedia sempat kelimpungan ditinggal sutradara berbakatnya itu. Maklum, selain film, Bergman juga berkarir di teater. Sayang, saya belum pernah sekali pun menonton pertunjukan teaternya.


    Saya masih ingin mencari filmnya yang belum saya tonton. Jika diurutkan hingga akhir, bisa jadi sejak film pertama hingga film terakhirnya, adalah rangkaian utuh tentang hidupnya, tentang fantasinya, tentang kebenciannya. Bergman pasti tahu, bahwa pilihannya pada teater dan film untuk melampiaskan krisis egonya, adalah pilihan terbaik. Setidaknya, hidupnya yang penuh amarah dan benci itu tidak membunuhnya di usia muda. Dari kebencian itu, karya-karya fenomenalnya lahir. Setidaknya ia bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa.


    Sekarang dia pergi. Bertemu kematian. Mungkin juga sedang bermain catur, bertiga dengan Tuhan.


    Film-film Terbaik karya Bergman rekomendasi penulis:

    1. Cries and Whisper
    2. Fanny and Alexander
    3. Scenes From Marriage
    4. Saraband
    5. Seventh Seal
    6. Wild Strawberries
    7. After The Rehearsal
    8. Autumn Sonata
    9. Face To Face
    10. Persona
    11. The Virgin Spring

    source: rumahfilm.org
    LihatTutupKomentar