Dosa Film Indonesia
Dosa Film Indonesia
oleh Hikmat Darmawan
Sederhananya: film Indonesia mengalami deintelektualisasi yang makin hari makin parah. Ketika akhirnya pada 2002 saya menonton Darah dan Doa (1950), karya Usmar Ismail yang ditabal sebagai film “nasional” pertama, saya terpana oleh tingkat pergumulan gagasan dalam film tersebut. Seolah sejak Darah dan Doa, film kita mengalami gelombang penurunan kadar intelektualitas yang menetap.
Cerita dan skenario Darah dan Doa ditulis penyair Sitor Situmorang. Persoalan yang dibahas adalah kemanusiaan di tengah segala segi revolusi. Dialog-dialog sering dipadati diskusi filsafat, sehingga sebagai tontonan –apalagi dengan banyak sekali kekurangan teknis pembuatan film—Darah dan Doa terasa belum sedap benar ditonton. Apakah diskusi-diskusi filsafat yang condong pada masalah-masalah eksistensial manusia itu menjadikan film ini elitis?
Mungkin saja. Namun yang patut kita catat, ketika film ini dibuat dan beredar, Indonesia memang masih dekat sekali dari “Masa Revolusi”. Kemerdekaan telah dinyatakan pada 1945, 5 tahun sebelum film ini dibuat; aksi polisional Belanda pun baru berlangsung (1947) dan negara baru ini baru tenang mendapat pengakuan utuh pada 1949. Bangsa kita waktu itu masih ingar revolusi, walau sedang mengalami jeda.
Menonton film ini, saya jadi disadarkan bahwa peristiwa macam Revolusi Madiun oleh kalangan komunis adalah sebuah perang saudara yang keras, dan mengandung pertaruhan filosofis yang nyata. Begitu juga, ternyata, masalah kemerdekaan. Sitor Situmorang menuliskan kisah ini sebagai sebuah problemasi makna kemerdekaan: apakah arti jiwa merdeka? Apa arti “manusia merdeka”? Dengan kata lain, dengan segala bobot filosofisnya, film ini boleh dibilang memiliki kedekatan tertentu, relasi erat, dengan masyarakatnya.
Memang, seperti perjuangan kemerdekaan kita mengalami pendangkalan hingga jadi sekadar rutinitas perayaan tujuhbelasan di RT-RT dan TK-TK, film Indonesia pun mengalami pendangkalan pelan-pelan. Usmar Ismail sendiri, sutradara Darah dan Doa yang juga intelektual publik terkemuka pada masanya, harus berkompromi. Ia membuat film-film komersial seperti Tiga Dara dan Krisis. Dunia film rupanya tak bisa keras kepala membatasi diri jadi dunia seni belaka, ia juga harus mengindustrikan diri.
Bukan berarti intelektualitas itu disingkirkan sepenuhnya. Selalu ada film-film yang memiliki kadar intelektual yang tinggi. D. Djajakusuma, Asrul Sani (terutama sebagai penulis skenario), Sjumandjaja, Nya Abbas Acub, Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Arifin C. Noor, Chaerul Umam, Putu Wijaya, adalah contoh para sineas lokal yang cendikia. Mereka bukan hanya pembuat film, tapi juga budayawan terkemuka. Dalam hal gagasan –baik gagasan sinematis mau pun gagasan filosofis yang hendak disampaikan, film-film mereka cerdas di atas rata-rata.
Nah, yang “rata-rata” ini yang jadi soal. Seiring tumbuhnya industri film Indonesia, tumbuh pula pemerataan gagasan sinematis yang, terus terang, kurang cerdas dan menjemukan. Gagasan umum insan film kita tentang pembuatan film seperti terhambat perkembangannya selama beberapa dekade. Kemungkinan gerak-gerik kamera, misalnya, jarang sekali dieksplorasi bahkan pada era 1970-80-an –saat film kita sedang banyak-banyaknya diproduksi (bisa lebih dari 100 film per tahun).
Bahasa visual kebanyakan film-film kita saat itu betul-betul alakadarnya: kamera yang malas, tata cahaya dan warna yang sekadar ada, mise-en-scĂ©ne yang miskin, setting dan artistik apa adanya, editing yang sekadar menjahit cerita, dan seterusnya. Bandingkan dengan film-film komersial di Hollywood, Italia, Jepang, pada era yang sama –segala kemungkinan kriya tak pernah luput dikembangkan.
Untungnya, masih ada penjelajahan di bidang efek spesial, walau dengan dana yang jelas terbatas. Film-film horor macam Pengabdi Setan dan Beranak Dalam Kubur, atau film-film silat macam Jaka Sembung atau Si Pitung, masih memberi “sihir” pada penonton kita saat itu. Untung pula, banyak film kita waktu itu masih bertumpu pada seni peran yang sering diisi oleh aktor-aktor watak macam Yeni Rachman, Rima Melati, Zaenal Abidin, Maruli Sitompul, Ray Sahetapy, Deddy Mizwar; atau aktor-aktor serbabisa macam Bing Slamet dan Benyamin S.
Juga masih ada: kehendak untuk bermakna. Film-film komersial kita sejak zaman Usmar hingga 1980-an hampir selalu mengandung petuah. Cerita pun masih dipentingkan, walau teknik bertutur (visual) mereka kurang berkembang. Film-film karya Sophan Sophiaan, Wim Umboh, Ismail Subardjo, Buce Malawau, dan beberapa sineas lain, masih mencoba bicara tentang masalah kemanusiaan atau sosial. Soal mutu, tentu bergantung pada tingkat intelektual para pembuat film itu. (Dan memang, rata-rata bermutu tanggung.)
*
Pada 1990, Garin Nugroho mencanang sesuatu yang relatif baru pada film Indonesia: tekanan pada estetika gambar. Filmnya, Cinta Dalam Sepotong Roti, mengandung fotografi yang puitis. Kalau sekadar gambar indah, tentu Garin tak akan lebih dari Wim Umboh (“Basuki Abdullah”-nya film Indonesia) yang terkenal gemar membuat gambar indah tapi artifisial. Kelebihan Garin adalah keberaniannya untuk menjadikan imaji filmis sebagai tumpuan berbagai gagasannya tentang film, manusia Indonesia, apa saja. Hal ini terutama tampak pada film keduanya, Surat Untuk Bidadari, dan semua filmnya sesudah itu.
Nuansa baru itu makin dikukuhkan pada oleh Kuldesak (1997). Ada empat segmen dalam film ini, yang digarap oleh empat anak muda: Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani, dan Nan T. Achnas. Film ini betul-betul tak mau tunduk pada aturan main yang ada pada film nasional selama berpuluh-puluh tahun. Mereka, misalnya, membuat film tanpa ikut syarat “magang” di dunia film sebelum jadi sutradara. Mereka juga membebaskan diri dalam hal tema dan pengucapan visual.
Ada segmen yang menelusuri kehidupan gay di kalangan muda kelas bawah; kehidupan musik underground yang menjadikan Kurt Cobain sebagai ikon; kehidupan anak muda kaya yang tergila pada film dan bahkan meniru-niru polah para karakter film alternatif dari luar negeri; dan ada segmen film laga tentang pengusaha yang berkuasa dengan hobi perbudakan seks (segmen paling buruk dalam Kuldesak).
Film ini seolah miniatur lanskap film nasional kita sejak itu. Pertama, latar para pembuatnya adalah dari lapisan masyarakat tertentu yang cukup memiliki posisi strategis untuk bisa membuat film sendiri. Dengan kata lain, mereka adalah anak-anak muda kaya yang ingin hobi mereka, film, bisa mewujud ke masyarakat. Kedua, sebagai seniman film, tampak antusiasme mereka yang besar terhadap teknikalitas film. Jenis kamera, filter kamera, rasio gambar, tata cahaya, property, latar musik, editing, terasa benar jadi pembicaraan wajib dalam proses pembuatan film itu. Ketiga, ada kecenderungan bereksperimen yang tinggi dalam hal tema, pengucapan visual, dan teknik bertutur.
Kecenderungan bereksperimen itu (termasuk jadi tren tersendiri, menyelip di tengah-tengah film komersial mutakhir kita, seperti ditunjukkan oleh Pasir Berbisik (Nan T. Achnas), Beth (Arya Kusumadewa), Eliana, Eliana (Riri Riza), atau 6:30 (Rinaldy Puspoyo).
*
Secara umum, film-film Indonesia generasi 2000-an masih digerogoti penyakit deintelektualisasi. Penguasaan teknis yang tinggi tampak jomplang dengan pengetahuan mereka tentang manusia. Para sineas unggulan kita di masa lalu, memiliki gagasan yang jelas tentang manusia pada saat membuat film. Sementara para sineas muda kita lebih banyak menyuguhi penonton dengan sisi kemanusiaan yang setengah matang atau mentah sama sekali.
Film-film Rudi Sujarwo, misalnya, selalu berpretensi intelektual, hip, dan terlibat dengan masyarakat. Film-film ini sering mencoba menampilkan percakapan atau persoalan filosofis. Tentang Dia, Rumah Ketujuh, Mengejar Matahari, atau Sembilan Naga berusaha keras untuk menampilkan dialog anak muda yang cerdas tentang hidup. Hasilnya malah wagu, seperti percakapan anak SMP/SMU yang baru punya bacaan tanggung tapi sudah merasa memahami hidup. Seorang preman di Sembilan Naga kok bicara begini, “Namamu indah …seindah maut.” Teman saya meledek, ini mah preman kelas kartu ucapan Hallmark.
Lebih parah jika Rudi mencoba mengulik kehidupan orang miskin Indonesia. Mendadak Dangdut dan Mengejar Mas-Mas adalah sebuah pandangan dari “atas”, dengan dagu mendongak, terhadap kehidupan kelas bawah kita. Rudi (dan Monty Tiwa, penulis skenario favorit Rudi) dalam film-film itu seperti seorang residen Belanda masa lalu yang merasa paham kehidupan orang kampung di Indonesia.
Sutradara-sutradara lain tak lebih baik. Hany R. Saputra (Virgin, Heart, Love is Cinta) bahkan hanya mampu menampilkan boneka-boneka tak bernyawa di tengah-tengah gambar indah. Demikian juga Rako Prijanto (Ungu Violet), Jose Purnomo (Jelangkung).
Tentu, ada perkecualian. Misalnya, Joko Anwar, dan Riri Riza. Kedua sutradara ini berani melanjutkan eksplorasi pengucapan dan tema untuk film layar lebar. (Khasanah film pendek kontemporer kita menyimpan banyak calon sineas cemerlang di masa depan. Tapi itu perlu ruang diskusi lain).
Joko, dengan sadar memilih tak risau soal pendalaman psikologis para tokohnya. Janji Joni dan Kala dipenuhi karakter yang karikatural. Tapi mereka, terutama di Janji Joni, adalah karikatur yang lumayan cerdas dan jelas menghibur. Pilihan terhadap karikatur adalah masuk akal, mengingat Joko memusatkan diri pada storytelling dalam bahasa visual. Ia terbenam dalam keasyikan bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur visual agar mencapai efek asyik ditonton.
Janji Joni dipenuhi dengan retorika kamera yang rajin bergerak, di samping soundtrack yang tak mau diam. Kala dipenuhi permainan sinematografi noir yang memikat. Seperti Quentin Tarantino (Kill Bill), film-film Joko “ensiklopedis” –dipenuhi kolase berbagai kosa film yang pernah ada, baik dalam maupun luar negeri. Ia tak beraspirasi menjadi Teguh Karya atau Garin baru, tapi film hiburan kita di masa depan akan diuntungkan oleh capaian-capaian Joko.
Lain dengan Riri Riza. Ia gagal secara artistik dengan Gie, dan membuat sebagian pengamat meyakini ia lebih berhasil di area film personal macam Eliana, Eliana dan Tiga Hari Untuk Selamanya. Toh, banyak juga yang mengkritik Tiga Hari… sebagai tanpa greget, tanpa konflik memadai, dan sebagainya.
Cobalah kita menonton film ini tanpa beban ekspektasi kebermaknaan yang berlebih, maka film ini dapat lebih asyik dinikmati apa adanya: sebuah potret kecil yang dengan cukup akurat menggambarkan kerisauan generasi muda kita saat ini. Ini lebih bermakna daripada film-film yang omong besar, tapi pretensius, macam Koper (Richard Oh) atau Novel Tanpa Huruf ‘R’ (Arya Kusumadewa).
*
Joko Anwar dan Riri Riza belum mencapai puncak pencapaian mereka. Ada beberapa nama lain yang cukup memberi harapan: Ravi Bharwani (The Rainmaker), Kasandra Massardi (100% Sari). Sementara beberapa sineas muda lain masih menunggu saat untuk muncul. Anggap saja ini keberuntungan: berarti, kita masih bisa menaruh harap pada masa depan film kita.
Sementara, pertanyaan itu masih menghantui: film hiburan yang cerdas; film seni yang jujur …apakah kedua hal ini masih merupakan utopia film kita? ***
Source: rumahfilm.org

