Jangan Tinggalkan Aku, Orked

     

    Ne me quitte pas

    Jangan Tinggalkan Aku, Orked

    oleh Ekky Imanjaya

    Redaktur Rumahfilm.org. Amsterdam


    Ne me quitte pas

    Il faut oublier

    Tout peut s'oublier

    Qui s'enfuit déjà

    Oublier le temps

    Des malentendus

    Et le temps perdu

    A savoir comment

    Oublier ces heures

    Qui tuaient parfois

    A coups de pourquoi

    Le coeur du Bonheur

    Ne me quitte pas


    Ne me quitte pas


    Don't leave me

    We must forget

    All we can forget all we did till now

    Let's forget the cost of the breath

    We've spent saying words unmeant

    And the times we've lost hours that must destroy

    Never knowing why everything must die at the heart of joy

    Don't leave me don't leave me


    (Ne Me Quitte Pas, Nina Simone mendaurulang dari Jacques Brel)


    Salah satu ciri film yang baik adalah seberapa dalam dan lama kesan dan sentuhannya bergaung ke hati penonton.  Saya menonton Mukhsin lima kali, dan lima kali pula  tersentuh. Saya merasakan ketulusan dan  kepenuhan hati pembuatnya, sekalipun saya tak menontonnya di layar lebar.  Saya menyaksikan Mukhsin pertamakali melalui laptop di sebuah hotel melati di Bukitbintang, Kuala Lumpur,  sehari sebelum bertemu dengan Yasmin Ahmad, sang sutradaranya.


    Yasmin ramah dan bercerita banyak hal dengan hangat.  Salah satunya tebak-tebakan adegan mana dalam filmnya yang membuatnya menangis. Baginya, hal ini penting, karena bagaimana mungkin sang sutradara bisa membuat orang lain terharu, kalau dirinya sendiri tak tersentuh?


    Apa salah satu bagian dari Mukhsin yang membuatnya menangis? “Tentu saja ini mudah ditebak. Adegan saat keluarga besar Orked  berdansa bertiga, dan Mukhsin di luar, dengan lagu Ne Me Quitte Pas,” jelasnya. Dan lagu yang artinya “Jangan Tinggalkan Aku” itu bukan satu-satunya lagu di sana yang menggerakkan perasaan.


    Film terakhir dari trilogi Orked ini adalah contoh yang sempurna dalam penggunaan lagu. Setidaknya, ada dua lagu utama di film itu yang meraih Grand Prix of the Deutsche Kinderhilfswerk  dan Crystal Bear untuk Film Fitur Terbaik di  Festival Film Berlin  2007 itu. Keroncong Hujan dan Ne Me Quitte  Pas.


    Ne Me Quitte Pas (Don’t Leave Me) dalam film ini adalah versi Nina Simone. (Salah satu penyanyi terbaik yang pernah ada, kata Yasmin). Mengapa bukan versi orisinalnya yang dinyanyikan Jacques Brel, Iwan Fals-nya Belgia (“Pahlawan saya”, kata Dr Wanda Strauven, dosen Film Theory di kampus saya)? “Ya, karena saya suka saja,” ujar Yasmin.


    Secara literal  Ne Me Quite  Pas bercerita persis seperti yang digambarkan judulnya: jangan tinggalkan aku. Ia ditempatkan di adegan saat sang karakter utama merasa diabaikan, dan takut bahwa orang yang ia cintai akan meninggalkannya untuk selamanya. Sedangkan Keroncong Hujan, terdengar di awal film, bersamaan dengan turunnya hujan, sambil mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah dan kebersamaan.


    Namun keduanya adalah juga sebuah tanda.  Ne Me Quitte Pass adalah pintu masuk dan keluar Mukhsin dan Orked, menegaskan pertemuan dan perpisahan mereka.Lagu Hujan, dimainkan di depan dan di belakang film,  adalah juga pintu petanda awal dan akhir kehidupan Orked kecil.


    Kedua lagu itu juga mempertegas atmosfir kehangatan di dalam hati karakternya, dan di dalam rumah. Saat keduanya dilantunkan, kita bisa merasakan keintiman, nilai kekeluargaan, dan kehangatan antar anggota keluarga. Tapi di saat yang bersamaan,  misalnya kasus saat pertama kali Ne Me Quitte Pas dinyanyikan secara “karaoke” oleh tukang kebun, yang sudah dianggap saudara sendiri oleh keluarga Orked, terasa dinginnya hati di luar keluarga inti dan rumah sederhana itu. Saat itu Mukhsin yang berada di luar memandang ke dalam rumah Orked yang penuh keceriaan. Mukhsin, anak dari keluarga berantakan, sedang diabaikan Orked dan ia melihat betapa bahagianya sebuah keluarga, justru di saat ia sudah mulai menjadi bagian dari lingkarannya.


    Di adegan berikutnya, giliran Orked yang merasakan kebekuan di dalam hatinya, saat ia sadar bahwa Mukhsin akan menginggalkannya. Entah sampai kapan dan Orked tak diberi kesempatan mengucapkan selamat tinggal.


    Sedikit berbeda untuk Hujan. Pada lagu ini, yang terasa hanya keceriaan. Kehangatan mengalir saat keluarga Orked bermain musik di teras rumah, bersama-sama. Di akhir film, Mak Inong asli, Pak Atan asli, dan Orked yang adalah adik kandung Yasmin, bernyanyi bersama seluruh kru dan pemain. Semuanya bergembira.


    Kedua lagu utama itu mempertajam jarak antara keceriaan-kesedihan; orang dalam-orang luar; awal-akhir. Terutama lewat lirik lagu-lagu itu yang memang erat hubungannya dengan adegan-adegannya, juga dengan mood musiknya itu sendiri.


    Yasmin dengan penuh kesadaran memilih lagu yang bukan dari budaya negerinya, Malaysia. Yang satu adalah lagu Belgia berbahasa Prancis, yang lainnya berakar dari Indonesia. Dia ingin menggarisbawahi wacana multirasialisme yang selama ini sudah ia sampaikan dalam Sepet dan Gubra, dua film  terdahulu dari trilogi Orked dan juga dari iklan-iklan Petronas yang dibuatnya. Dari wawancara saya dengan Yasmin, tampak bahwa pilihan itu adalah cermin dari pemikiran sang sutradara yang terobsesi dengan kebudayaan lain di luar budayanya.


    Yasmin sempat memberi cerita menarik soal lagu keroncong di filmnya itu. Mukhsin diputar di Jogja-Netpac Asia Film Festival tahun ini dan meraih Silver Hanoman. Ketika lagu Keroncong Hujan disenandungkan sebagai penutup, salah seorang wartawan senior dari surat kabar beroplah terbanyak di negeri ini berdiri dan kurang lebih berkata:’Mana sutradaranya? Ini lagu kok sangat Indonesia!’.  “Saya jadi takut mendengarnya…” kata Yasmin.


    Lewat film peraih Best Asian Feature Film di Cinemanila International Film Festival  2007 itu,  kita menjadi lebih sadar, bahwa lagu tidak sekadar hiasan belaka, atau pelengkap penyerta. Ia bisa menjadi alat yang efektif untuk mengarahkan perasaan penonton sesuai dengan tujuan yang diinginkan, membuat pemahaman penonton lebih dalam, lewat lirik dan mood dari lagu dan aspek musikalnya. Padahal, film ini sangat sederhana, “hanya sekadar” kisah cinta monyet Orked, si tomboi dari sebuah keluarga “gila”, dengan Mukhsin.


    Lalu giliran saya yang sedih. Yasmin berkata, “Ini film terakhir tentang trilogi Orked. Setelah ini, tak akan ada lagi film tentang Orked”. Mukhsin menuntaskan trilogi Orked. Kecil kemungkinan saya berjumpa lagi dengan karakter Orked, padahal saya terlanjur saya jatuh cinta padanya.


    Ne me quitte pas, Orked…


    Source: rumahfilm.org

    LihatTutupKomentar