Burung Biru dan Gadis Miskin
Gadis miskin dan burung biru rupanya bukan sekadar dongeng. Kisah itu jadi kenyataan yang hidup dalam diri Ny. Mutiara Djokosoetono, pendiri Kelompok Blue Bird. Dimulai dengan menjalankan taksi gelap, kini kelompok usaha yang dikenal dengan taksi Blue Bird-nya itu terus mengepakkan sayapnya ke bidang-bidang bisnis lainnya.
![]() |
| Ny. Mutiara Djokosoetono, S.H. |
Ny. Mutiara Djokosoetono, S.H.
"Sukses kami karena ada the invisible hand"
Buat orang Jakarta taksi berwarna biru langit dan berlogo burung berwarna biru tua bukan barang asing. Mobil sewa itu berseliweran di seantero jalanan di Jakarta sepanjang 24 jam. Namun butuh seni dan perjuangan tersendiri untuk mengelola dan mengembangkan sebuah perusahaan jasa transportasi semacam taksi. Tak ubahnya perjuangan pengemudi taksi menggaet penumpang di tengah persaingan keras bisnis pertaksian. Perjalanan ratusan kilometer mereka susuri sepanjang hari dengan beban yang acap tidak ringan: jalanan macet, kelelahan, sampai ancaman penodongan. Sebuah perjuangan hidup yang tidak mudah.
Begitupun gambaran perjalanan kelompok usaha Blue Bird yang telah mengibarkan benderanya selama persis seperempat abad pada 1 Mei 1997 yang lalu. "Perjalanan kami memang cukup panjang," tutur Ny. Mutiara Djokosoetono, S.H., direktur utama sekaligus pendiri perusahaan taksi Blue Bird. Ia pun mulai mengisahkan sebagian perjalanan hidup diri, rumah tangga, dan perusahaannya.
Kondisi ekonomi rumah tangganya pada tahun 1960-an sebetulnya boleh dibilang lumayan kendati secara nasional serba sulit. Saat itu pekerjaan Prof. Djokosoetono, S.H., suaminya, rangkap-rangkap. Sebagai dosen di sejumlah fakultas di Universitas Indonesia, juga dekan PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) dan PTHM (Perguruan Tinggi Hukum Militer).
Jabatan rangkap yang disandang Prof. Djoko, yang semula asisten guru besar Belanda itu, bukan karena punya banyak waktu, tetapi gara-gara banyak guru besar Belanda yang pulang ke negerinya. Universiteit van Indonesia (UVI), kini Universitas Indonesia, lalu kekurangan tenaga pengajar.
"Melihat suami saya kelabakan, mau tidak mau saya harus membantu dia mengajar, ya ilmu politik, pengantar ekonomi, hukum tata negara, dan lainnya," kata wanita lulusan Fakultas Hukum UI yang juga adik tingkat suaminya ini.
![]() |
| Dr. Purnomo Prawiro. |
Dr. Purnomo Prawiro.
"Kami ingin tetap menjadi yang nomor satu"
Cita-citanya menjadi polwan (polisi wanita) kandas dan pekerjaan di dinas kopolisian yang belum genap 2 bulan ditinggalkan karena Mutiara tidak ingin melihat suaminya kerepotan sendiri. "Jadi, meskipun sedih, saya harus meninggalkan pekerjaan dan kepentingan pribadi saya," kisahnya.
Titik balik kehidupan keluarganya terjadi setelah suami Mutiara dan ayah tiga anak - Chandra Suharto, Mintarsih, dan Purnomo Prawiro - itu meninggal dunia. Walaupun keluarga Mutiara mendapat bantuan dari para mantan murid suaminya yang bekerja di kejaksaan berupa makanan kalengan hasil sitaan kejaksaan macam sosis, corned beef, dan sabun, yang dinilai sangat berarti itu, toh tetap saja belum mencukupi.
Bemo dan taksi gelap
Karena tak melihat pilihan lain untuk memperbaiki sumber penghasilan keluarganya, Mutiara mencoba untuk berbisnis. Tapi ia sendiri tidak tahu mau berbisnis apa. Modal uang tak punya dan ia sama sekali buta dalam soal bisnis. Yang dia miliki hanyalah dua buah mobil sedan, Mercedes 180 dan Opel Kapitan, serta sebuah rumah yang dihuninya.
Selama itu untuk menambah asap dapur, Mutiara tak sungkan berjualan telur dan batik. "Anak-anak saya beri makan dengan telur pecah yang kemudian digoreng, ditambah tahu atau tempe. Begitu setiap hari," kenang Ny. Djoko.
Juga Ny. Djoko sempat membeli sebuah bemo. Trayeknya Kota - Harmoni. Sopirnya si sulung Chandra, dan keneknya si bungsu Purnomo. Dengan SIM tembakan karena belum cukup umur, tiap sore sepulang sekolah dan hari libur Chandra dan Purnomo menarik bemo. Tidak jarang Purnomo sampai harus berkelahi untuk menarik ongkos penumpang nakal yang tak mau bayar. "Tapi pernah juga ada seorang ibu yang baik hati mengundang mereka ke rumahnya. Jika ditanya apa sudah makan oleh si penyewa bemo, biasanya mereka menjawab belum. Kadang pulangnya dibawain sebungkus pisang goreng," kata Ny. Djoko geli mengenang masa itu.
Dalam keadaan bingung tentang bisnis apa yang kemudian harus dijalani, kebetulan Mutiara Djokosoetono bertemu dengan kawan lama, sesama arek Malang, Jawa Timur. Temannya yang pendiri perusahaan angkutan bus HIBA menyarankan supaya kendaraan yang dia miliki dijalankan sebagai taksi gelap saja. Saran itu pun mereka jalani.
Lagi-lagi Chandra yang waktu itu berusia 17 jadi sopir taksi gelap itu dan Purnomo (12) mendampinginya. Konon Purnomo orangnya lebih berani dan nekat daripada kakaknya yang pemalu. Jika berada di bandara atau stasiun kereta api, Purnomo mengintip para penumpang yang baru tiba dari balik pilar. Begitu terlihat ada orang asing, tanpa ragu ia langsung mendekatinya. "Taxi, Sir ... Taxi, Sir?" katanya. "Mungkin karena kasihan melihat anak kecil, mereka pun mau. Jadi mereka dapat duit," kata Ny. Djoko.
Karena setiap menerima telepon Chandra menyebutkan namanya pada si pemesan taksi, orang mengira Chandra itu nama perusahaan taksi. Makanya tak heran jika nama itu lama sekali melekat sebagai CT alias Chandra Taxi untuk taksi mereka.
Meski saat itu serba kekurangan, mereka mengaku tetap memegang teguh prinsip kejujuran, yang kelak merupakan sisi utama dari kultur perusahaannya.
Dianggap anak bawang
Waktu pun terus bergulir.
Ketika pada tahun 1971 Gubernur DKI Ali Sadikin memberi peluang dibukanya perusahaan taksi, mereka mencoba mengajukannya. "Karena sudah bergerak di taksi gelap, kita menganggap bisnis ini sesuai dengan jiwa kita dan bisa mengembangkannya. Buktinya, dua taksi kami itu tak lama kemudian berkembang menjadi 35 buah, karena beberapa orang kenalan menitipkan mobilnya kepada kita," kata dr. Purnomo Prawiro, kini direktur Kelompok Blue Bird.
Sayangnya, izin itu hanya diberikan kepada mereka yang sudah memiliki pengalaman di bidang transportasi, seperti Gamya (Gamadi), Royal City Taxi (Pelita Mas Jaya), Sri Medali (Medal Sekarwangi), Ratax (PPD). "Jadi saat itu mereka umumnya punya background. Karena itu kita cuma dianggap anak bawang bahkan kambing, dianggap tidak berpengalaman sama sekali," kata Purnomo.
Untunglah, Ny. Djokosoetono pantang menyerah. Bersama Ibu Yamin dan Ibu Sahardjo, ia mendatangi bagian pengeluaran izin di kantor pemda. "Lo, bagaimana sih, ibu-ibu ini 'kan nggak punya pengalaman," kata Purnomo menirukan ucapan si pejabat. Untuk membuktikan kemampuannya Ny. Djoko lalu mengumpulkan rekomendasi dari mereka yang pernah menyewa taksi gelapnya. "Berkat setumpuk rekomendasi itu, akhirnya beberapa bulan kemudian (tahun 1971) keluarlah izin itu," kata Purnomo, yang juga ketua IV PB IDI.
![]() |
| Bluebird online registration |
Namun keberadaan mereka masih dipandang sebelah mata oleh perusahaan taksi lainnya. "Jika ada rapat Organda, kita tak dianggap sama sekali. Kita cuma dianggap sebagai tambahan," kata Purnomo. Namun hal itu tidak membuat mereka patah semangat. Justru sebaliknya dijadikan sebagai pecut untuk maju. "Ibu ingin membuktikan bahwa kita bisa sama atau lebih baik dari mereka."
Meskipun sudah mengantungi izin sejak 1971, perusahaan baru resmi beroperasi pada 1 Mei 1972. Tanggal itu pula kelak yang dianggap sebagai hari jadi Blue Bird.
Sebagai sebuah perusahan yang baru berdiri, kendala utama pada masa-masa awal ialah dana. Entah nasib baik atau apa, tiba-tiba Ny. Djoko teringat pada kartu nama yang pernah diberikan seseorang kepadanya saat pemakaman suaminya. "Saat itu ia mengaku mantan murid suami saya. 'Kalau Ibu membutuhkan bantuan, ini kartu nama saya,' katanya. Kartu nama itu pula yang kelak akan membantu melancarkan usaha yang saya rintis," cerita Ny. Mutiara yang selalu tampil rapi ini.
Ternyata mantan murid suaminya itu seorang presiden direktur sebuah bank. Sejak itulah perusahaannya mulai berkembang berkat pinjaman dari bank tersebut. Belum sampai setahun sejak berdiri, taksi mereka sudah 100 buah.
Bahkan kini, 25 tahun kemudian, dengan 5.800 orang pengemudi Kelompok Blue Bird mengoperasikan limusin 1.300 buah, Blue Bird 1.600 buah, Silver Bird 240 buah, Golden Bird Bali 80 buah, serta Bali Taxi dan Lombok Taxi masing-masing 80 dan 50 buah. Belum termasuk bus Big Bird yang 500 buah. Rencananya, tahun ini mereka akan masuk Surabaya dengan nama Surabaya Taxi. Untuk taksi di daerah, Blue Bird menggandeng mitra lokal dengan saham mayoritas dipegang Blue Bird.
Di luar itu sejak beberapa tahun lalu Blue Bird juga mengelola taksi Gamya dan Morante. Bahkan bukan berhenti di situ. Saat ini, Kelompok Blue Bird yang selama ini identik dengan taksi mengembangkan sayapnya ke bidang-bidang bisnis lain seperti peti kemas, hotel, karoseri, penghasil mobil pemadam kebakaran, pabrik lampu, dan pompa bensin gas.
Berkah Burung Biru
Blue Bird ternyata bukan sekadar nama. Di balik nama yang telah menjadi merek dagang itu tersimpan makna yang dalam bagi pemiliknya. Di tengah penderitaan, Ny. Djoko teringat pada dongeng masa kecil, yang bercerita tentang seorang gadis miskin yang menangis dan berdoa kepada Tuhan agar diberi berkah yang sama dengan teman-temannya. Akhirnya, dikirimlah seekor blue bird untuk memberikan segala hal agar ia setanding dengan teman-temannya. "Saya membayangkan diri saya sebagai gadis miskin itu. Dari situlah saya pilih nama Blue Bird, karena burung itu memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia," katanya.
Namun sama sekali bukan kekayaan yang dicari wanita yang gesit dan energetik ini. "Saya hanya mohon agar diberi kecukupan untuk menyekolahkan anak-anak saya. Itu 'kan suatu doa yang simpel, tidak muluk-muluk," ungkapnya. Itu ternyata terbukti. Meski dulu kondisi ekonomi rumah tangganya terjepit, Mutiara berhasil membawa ketiga anaknya menyandang gelar dokter. Chandra dokter ahli jantung, Mintarsih dokter ahli jiwa, dan Purnomo dokter umum.
Karena itulah dia sulit memberikan jawaban tentang resep keberhasilan perusahaan yang dikelolanya hingga seperti sekarang ini. "Saya sendiri nggak tahu dari mana. Tapi terus terang saya harus mengakui ada the invisible hand di balik sukses saya ini. Yang saya tahu hanya kerja keras dan tidak kenal waktu," katanya merendah.
Kerja keras dan loyalitas pada pekerjaan. Barangkali itu yang bisa disimpulkan sebagai kata kuncinya. Karena itu dalam membina para pengemudinya, Blue Bird menerapkan aturan yang ketat. Setiap pengemudi, sesuai dengan jenis mobil yang dibawa, wajib memakai pakaian seragam. Mereka juga harus menunjukkan kartu tanda pengenal untuk bisa mengambil mobil. "Jika tidak pakai seragam atau bawa kartu pengenal, jangan harap mereka akan memperoleh mobil," kata Purnomo.
Kepada karyawannya Purnomo juga menerapkan prinsip kejujuran seperti dulu diajarkan oleh orang tuanya. Jika barang milik penumpang tertinggal di taksi, misalnya, dalam waktu 1 x 24 jam si pengemudi harus menyerahkan ke kantor pusat atau langsung ke pemiliknya. Juga pengemudi dilarang keras membawa penumpang berputar-putar agar memperoleh bayaran lebih. "Pokoknya, segala bentuk ketidakjujuran, sanksinya adalah pemecatan," katanya tegas.
Bisnis Blue Bird, katanya, bukan sekadar memindahkan orang dari suatu tempat ke tempat lain seperti memindahkan barang. Yang mereka layani adalah orang, maka ia harus puas, harus aman, dan sebagainya. Hal seperti itulah yang juga ditanamkan kepada karyawan Blue Bird. Untuk terus mengevaluasi dan mengatasi masalah yang timbul, Blue Bird membentuk complaint departement.
Ingin tetap nomor satu
Melalui diklat para pengemudi juga diberi pemahaman bahwa keselamatan penumpang adalah tanggung jawab mereka. Jadi, mereka tidak boleh ngebut. Andaikata terjadi kecelakaan, perusahaan mengambil alih semua masalahnya, termasuk biaya rumah sakit untuk sopir maupun penumpang. Jika ada penumpang terlambat tiba di bandara karena kesalahan sopir akibat ban pecah atau telat jemput itu pun ada kompensasinya.
"Kalau itu penerbangan domestik, kita ganti penaltinya. Kalau luar negeri dan kena cancellation sehingga mesti menginap sehari lagi di sini, itu semua biaya kita," kata Purnomo.
Kepada para pengemudi yang latar belakang pendidikan maupun usianya macam-macam, Purnomo senantiasa mengingatkan, mereka bukan hanya pengemudi semata, tetapi merangkap sebagai salesman, pilot, dan duta perusahaan. "Baik-buruknya citra perusahaan tergantung pada tingkah laku mereka," katanya.
Namun peraturan yang begitu ketat tampaknya diimbangi dengan perhatian terhadap kesejahteraan. Pekerjaan mengemudi taksi itu penuh risiko. Selain kecelakaan, juga rawan penodongan. Untuk itu pihak manajemen memasang alarm system pada kendaraan. Pengemudi tinggal menginjak tombol jika menghadapi kesulitan, dan segala percakapan akan terekam serta terpantau hingga memudahkan pelacakan. Dana investasi untuk itu tak kurang dari Rp 1,5 miliar.
Kalau pengemudi tewas dalam tugas karena peristiwa penodongan, misalnya, biaya pendidikan anaknya akan ditanggung perusahaan. Seperti belum lama ini terjadi, korban meninggalkan dua orang anak. Perusahaan langsung mengambil alih tanggung jawab pendidikan kedua anak itu sampai tamat SMTA.
Semua itu tampaknya dilakukan demi terus mempertahankan citra sebagai perusahaan taksi yang terpecaya. Munculnya berbagai perusahaan taksi baru tidak membuat Purnomo berkecil hati. "Kalau taksi banyak, penumpang tidak akan ingat nama semua taksi. Yang mereka ingat justru the best and the worst. Karena itulah kami selalu ingin menjadi yang nomor satu," kata dokter yang tak pernah buka praktik ini. Itu dibuktikan antara lain melalui sejumlah piala penghargaan yang mereka peroleh, misalnya Indonesian Best Driver (1992, 1993, 1994).
Sudah seperempat abad berlalu, namun si Burung Biru tampaknya tidak akan pernah berhenti mengepakkan sayapnya untuk terbang ke mana saja mengantar Anda, dan terus melebarkan sayap bisnisnya ke mana-mana. (L.R. Supriyapto Yahya)



