![]() |
| Opera Jawa (2006) |
Opera Jawa
Sutradara: Garin Nugroho.
Pemain: Artika Sari Dewi, Martinus Miroto, Eko Supriyanto, Retno Maruti, Slamet Gundono.
Kamera: Teoh Gay-Hian.
Musik: Rahayu Supanggah.
Durasi: 119 menit.
![]() |
| Teak Leaves On The Temple (dokumenter) 2008 |
Teak Leaves On The Temple (dokumenter)
Sutradara: Garin Nugroho. Kamera: Teoh Gay-Hian.
Produksi: Trimax Enterprises Film. Produser: Toni Hauswirth, Winston Marsh.
Kolaborator: The Geisser-Mazzola-Jones Trio, Sonoseni Ensemble, Sutanto Mendut, Ismanto, Eko Prawoto, Tri Ikhtiar, The Daging Tumbuh (Eko Nugroho), Kelompok Musik Bambu Plaosan, Kampung Nitiprayan.
Film Sebagai Percakapan Gagasan
Film Sebagai Percakapan Gagasan
oleh Hikmat Darmawan
Yang paling menggelikan dalam pemutaran kembali Opera Jawa September 2007 ini adalah jenis penghargaan Festival Film Indonesia 2006 kepada film ini: ”Skenario Terbaik”. (Kita tahu, pada tahun tersebut FFI memberi anugerah film terbaik pada Ekskul yang kemudian membuat heboh itu.)
Opera Jawa sama sekali bukan film yang bertumpu pada skenario. Ceritanya sederhana –garis besar kisah Ramayana dengan plesetan (atau, lebih gagah, ”kontekstualisasi”) di sana-sini. Dialog-dialognya lebih sederhana lagi –pernyataan-pernyataan keadaan atau gagasan yang lempang, langsung, tak halus atau dibungkus-bungkus. Hanya, ungkapan-ungkapan teramat verbal itu diucapkan dalam Bahasa Jawa dan 99% secara nembang karena hakikatnya ini opera (ergo judul ”Opera Jawa”). Film ini sepenuhnya bertumpu pada permainan bentuk, bukan pada naskah atau cerita.
Anekdot FFI barangkali mencerminkan kegagapan dunia film kita dalam menghadapi anaknya sendiri yang asyik bermain-main di ”luar sana”. Opera Jawa memenangi dua penghargaan di Festival Film Nanthes, juga menang di Festival Film Venesia 2006 dan Festival Film Toronto 2006. Sejak lahirnya, sebuah bagian dari seri New Crowned Hope sebagai bagian dari perayaan 250 tahun Mozart, ia membayangkan diri sebagai anak ”sinema dunia”. Ia dengan lugas terlibat dalam pusaran ide dunia, tapi tak terlalu diterima di negeri sendiri.
Toh Garin Nugroho, sang sutradara, seakan telah punya tempat yang tetap dalam pusaran ide dunia. Setelah Opera Jawa, ia membuat lagi film yang lebih jelas lagi diperuntukkan untuk para pemirsa sinema dunia (bahkan, orang boleh curiga, hanya bagi penonton tertentu di Barat). Kali ini dokumenter, tentang kolaborasi free Jazz dan seni lokal para penduduk/seniman sekitar Prambanan, Merapi, dan Jogja.. Apakah kita, di negeri ini, tak bisa menikmatinya?
Film sebagai wacana, sebagai permainan
Memang sukar menikmati Opera Jawa. Seni opera tak lah mengakar di sini. Jangankan opera dalam panggung-panggung Eropa mereka yang megah, saya selalu mengalami kesulitan tertentu dalam menikmati film-film berakar opera, seperti Evita (Alan Parker), Moulin Rouge (Buzz Luhrman), Jesus Christ Superstar (Norman Jewison). Walau film-film itu tak ”opera” benar, tapi tetap saja: pasti ada masa sejenak dalam menonton film-film itu, saya harus ”menyetel” ulang ekspektasi saya agar lebih sesuai dengan ekspektasi film itu terhadap penonton.
Namun itu hanya salah satu saja hambatan dalam menikmati Opera Jawa. Hambatan yang lebih besar, hemat saya, adalah posisi film ini sebagai wahana urun suara dalam pusaran ide dunia kontemporer. Film ini memang menempatkan diri sebagai wacana. Bukan sekadar wacana tentang keadilan atau pertempuran nafsu dan kesetiaan, godaan dan ketertiban, seperti yang diverbalkan dalam tembang-tembang di film ini. Jika hanya itu ”pesan” film ini, Garin tak perlu repot-repot melibatkan sekian banyak musik dan tarian ”kontempo-tradisional”, plus sekian banyak seni instalasi. Soal-soal yang diverbalkan dalam film ini hanyalah sebuah permukaan, sebuah pernyataan, tetapi ada lebih dari itu di bawah permukaan tersebut.
Salah satu kunci menikmati Opera Jawa adalah ungkapan Garin sendiri, ketika memimpikan generasi baru pembuat film Indonesia. Dalam sebuah tulisan di Kompas (yang kemudian diulas Seno Gumira dalam Bangkit Tak Bangkit Sinema Indonesia), Garin menyatakan bahwa sineas masa depan adalah ”anak kandung budaya multimedia”. Saya kuat menduga bahwa Garin membayangkan diri demikian, sebagai ”anak kandung budaya multimedia”, pada saat membuat Opera Jawa.
Artinya, film ini diletakkan dalam naungan pertukaran wacana tentang (hakikat) film sendiri. Dengan menyertakan seni instalasi dan berbagai hibridasi seni tari dan musik yang berkembang di Jawa masa kini sebagai bagian dari mise en scene yang padat dalam Opera Jawa, Garin sedang bermain-main di taman budaya multimedia. Di dalam budaya multimedia, hibridasi adalah sebuah keharusan alamiah. Dalam budaya multimedia, colongan dan selonongan antarwilayah budaya secara seenak perut dan kurang ajar bukan hanya dimaklumi, bahkan terpuji. Seni tinggi dan seni rendah, seni tradisional dan seni modern, yang lokal dan yang global, duduk bersama di taman budaya multimedia dan bercakap-cakap dengan asyik.
Inilah kunci lain untuk menikmati Opera Jawa. Saya ajak Anda lebih dulu melihat sebuah iklan kuliah umum sejarah filsafat dari Profesor Daniel N. Robinson dalam The Economist 31 Maret-6 April 2007. Iklan ini menyatakan: ”Perhaps more so than in any other discipline, philosophy is best understood as a ”great conversation” held across hundred of years.” Saya kira, gambaran ini tak hanya berlaku pada filsafat. Seni pun bisa kita pandang sebagai sebuah “percakapan besar” yang telah berlangsung ratusan tahun. Film, walau baru kurang lebih seabad menjadi medium seni dan ekspresi, telah menerbitkan sebuah “percakapan besar” pula.
Dengan Opera Jawa, Garin menantang kenyamanan kita dalam memahami film (fiksi). Ia sendiri berangkat dari sebuah tantangan yang tersedia dalam sejarah seabad film: bagaimana film bisa menangkap tari? Dan Garin tak hanya berhenti pada pertanyaan ini. Dalam film selanjutnya, sebuah dokumenter (setelah lama Garin tak membuat dokumenter) yang ganjil, Garin mempertanyakan pengertian ”film dokumenter” sendiri. Film itu, Teak Leaves On The Temple, adalah sebuah capaian lebih baik dari Opera Jawa, tapi sampai saat ini tak terlalu banyak dipercakapkan.
Menghidupkan tubuh: Opera Jawa
Kita nikmati dulu Opera Jawa, mumpung sedang diputar lagi di empat kota besar Indonesia: Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang.
Lebih dulu, sebuah catatan. Satu hal yang sangat fatal mengganggu penikmatan Opera Jawa adalah teks terjemahan. Kehadiran teks ini sungguh membuyarkan ritme film. Seluruh dialog film yang ditembangkan berbahasa Jawa sesungguhnya berjalan dalam ritme yang lamban: kata demi kata jatuh perlahan, sesuai ritme tembang yang sedang dinyanyikan. Lha, teksnya jatuh langsung sebaris kalimat. Mata kita akan membaca baris kalimat, menemukan pengertian akan kata yang sedang diucapkan, hanya dalam beberapa detik. Belum sampai tembang ke ujung kalimat, penonton sudah paham belaka kalimat itu sampai ke ujung. Saya membayangkan, lebih asyik jika jatuhnya teks diatur ritmis pula. Dan ini dimungkinkan jika pemberian teks dilakukan secara digital, menjadi bagian rupa dalam film ini. Hal ini pernah dilakukan dengan baik sekali dalam klip video Right Now (Van Hallen) dan klip lagu George Michael yang saya lupa. Dilemanya, memang, setidaknya harus ada dua pemberian teks: terjemahan bahasa Indonesia, dan terjemahan bahasa Inggris.
Nah, filmnya. Sebuah opera, dengan memberdayakan latar dan lagu Jawa. Tentang Rama, Sinta, Rahwana dan cerita dasar dari epik Ramayana. Dikontemporerkan menjadi perlambang, mewujud dalam sosok-sosok manusia Jawa (/Indonesia?) kontemporer. Apakah ”opera”? Apakah ”Jawa”? Apakah “Ramayana”? Apakah “Indonesia”? Apakah “modern” dan “kontemporer”? Dan bagaimana film berdialog dengan semua itu? Banyak bahan percakapan bisa digali dari sini. Tapi saya tertarik mempercakapkan apa yang mendominasi layar Opera Jawa: tari.
Apakah “tari”? Bunda Ludiro, Sukesi (Retno Maruti), menyatakan bahwa “tari adalah tubuh yang hidup”. Seluruh adegan film ini adalah pembuktian tesis itu. Eko Supriyanto, yang di sini terkenal sebagai satu-satunya penari Indonesia yang pernah jadi penari latar Madonna, sangat menonjol dalam perannya sebagai Ludiro atawa Sang Rahwana. Eko menari dengan seluruh tubuhnya, bahkan wajah dan ujung jempol kaki.
Adegan tari di dapur saat menanak nasi, ketika Ludiro menggoda Siti atawa Sita (Atika Sari), sungguh nakal-gembira –dan air muka Eko, juga gerak bahu dan lengannya, sangat penting menghidupkan suasana nakal-menggoda itu. Eko yang sama juga menarikan sebuah ide tentang kekerasan di rumah jagal: begitu brutal, begitu menumpulkan akal. Dan Eko bisa ngeblues juga, dalam sebuah adegan tipikal blues yang penuh asap rokok dan remang, dengan petilan gitar serta nyanyian menyayat dari Slamet Gundono dalam bahasa Jawa kasar.
Adalah tari pula yang menghidupkan tubuh Atika Sari yang bukan penari profesional. Tubuh Atika melengkung dan meliuk, sebagai Siti/Sita yang dibakar gairah. Siti adalah Sita, dengan pembengkokan: sang ”Sita” ternyata bukanlah korban murni, ia juga cenderung tertarik pada berbagai ragam godaan sang ”Rahwana”. Mengapa? Karena Siti dulunya adalah penari, seorang yang terbiasa tubuhnya hidup, tapi lantas harus takluk pada keselarasan dan kepantasan seorang istri. Siti yang menyimpan bara, harus anteng, harus setia pada Setyo (Martinus Miroto), sang ”Rama”.
Juga ada pembengkokan sang ”Rama” dalam film ini: ia bukan raja, kecuali dalam rumah tangganya saja; ia hanya pengrajin gerabah yang tergusur krisis ekonomi. Justru Ludiro yang raja di kampung itu. Ia menggusur, tapi juga sekadar anak Mama yang urakan karena mengumbar hasrat, dan karena itu sangat menarik bagi Siti. Hadirnya hasrat, mulanya sebagai ancaman tapi lantas jadi godaan, muncul dalam bentuk kukusan yang kadang jadi topeng menyembunyikan malu dan hasrat merona, kadang meradang bak naga, kadang lucu dan riang. Ketika Setyo yang terluka dan dimiskinkan membangkitkan perlawanan sosial, tema yang ia angkat adalah ”kesetiaan akan mengalahkan keserakahan”. Motif pribadi bercampur-baur dengan tuntutan keadilan sosial kepada Ludiro.
Garin mencoba memecahkan soal menangkap tari dalam kamera. Tak seperti pilihan Buzz Luhrman dalam Moulin Rouge yang membuat kamera tak bisa diam menari lincah, dan memanfaatkan suntingan gambar yang serba cepat untuk mencipta ritme dinamis, Garin memilih memberdayakan komposisi gambar dan mise en scene. Kamera yang ditangani Teoh Gay-Hian (juga jurukamera karya Ho Yuhang dari Malaysia, Sanctuary dan Rain Dogs) lebih banyak statis, bahkan untuk gerak-gerik tari yang panas dinamis. Walau tak bergerak, kamera sebetulnya cukup aktif. Dengan posisi anteng, kamera cukup sadar potensi close up, long shot, long take, dan sebagainya, dalam merekam tari.
Ibarat teknologi mikrofon memungkinkan Frank Sinatra mendesah merayu tanpa harus berteriak dalam mengalahkan musik orkestrasi big band, sehingga memicu revolusi dunia hiburan dengan lahirnya album pop pertama, The Voice of Frank Sinatra pada 1946. Garin dan Teoh memberdayakan kamera untuk merekam ”opera” tanpa harus bermegah-megah dan berteriak-teriak. Musik dan komposisi tembang karya Rahayu Supanggah dimungkinkan oleh pendekatan sinematis Garin-Teoh untuk tetap mendominasi layar bahkan di saat-saat intim seperti ratapan dan keluhan Sukesi tentang nasib Ludiro anaknya.
Lebih menarik lagi, saat-saat musik tiada (ketika gemerisik langkah pemain di atas lantai berdebu terdengar jelas, misalnya) bisa jadi momen jeda yang agak menyesakkan. Betapa dekat sebetulnya jarak antara ada dan tiada musik: apakah ketiadaan musik adalah musik sendiri?
Menghidupkan ruang: Teak Leaves OnThe Temple
Dan apakah musik? Film dokumenter Teak Leaves On The Temple mencoba menjawab itu. Seperti Opera Jawa, film ini melibatkan banyak komunitas seni kontempo-tradisional Jawa, terutama di sekitar Jogjakarta, Prambanan, dan Gunung Merapi. Lagi-lagi terjadi percakapan seni yang asyik: apakah ”Barat” dan ”Timur”? Apakah ”seni”? Apakah ”seni kontemporer” dan ”seni tradisional”? Apakah "Tuhan”? Tapi, lagi-lagi, saya tertarik untuk bercakap-cakap tentang pertanyaan tentang medium film yang dipicu oleh film Garin terbaru ini: apakah ”film dokumenter”?
Seperti Five Obstructions (Lars von Trier) yang menantang kenyamanan definisi saya tentang ”film dokumenter”, Teak Leaves On The Temple kembali menggoyah kenyamanan itu. Banyak unsur film dokumenter konvesional bertahan, seperti rekaman wawancara dan rekaman peristiwa apa adanya. Tapi secara keseluruhan, film dokumenter ini dengan sadar menjadi artifisial. Atau, dengan sadar film ini bermain-main dengan yang artifisial.
Teak Leaves merekam trio Guerino Mazzola, Heinz Geisser (keduanya, dari Swiss –negeri yang ”aneh” untuk Jazz) dan pemain bass asal Amerika Norris Jones yang lebih dikenal sebagai Sirone, saat mereka berkolaborasi dengan komunitas seni lokal di tiga candi Jawa pada 2006. Geisser di awal film menyebut kolaborasi-kolaborasi itu sebagai sebuah perjalanan. Geisser, pianis beraliran free jazz yang sebetulnya berpendidikan di bidang matematika murni, mengurai ketakjubannya pada berbagai metafor yang ia temukan dalam candi. Salah satu tema yang ia tangkap dalam candi, perjalanan manusia dari ruang satu ke ruang lebih tinggi, hingga mencapai ruang tertinggi.
Musik adalah dialog bunyi dan ruang. Apa yang terjadi dalam ruang yang terpilih oleh trio ini direspon oleh piano, drum, dan bass, dalam sebuah bentuk permainan jazz bebas. Relasi antara bunyi dan ruang itulah yang menghidupkan ruang. Maka penting sekali untuk bentuk kolaborasi ini lokasi-lokasi nyeleneh untuk sebuah pertunjukan jazz: candi, pesawahan, kampung, lokasi bencana gempa.
Dalam merekam perjalanan menghidupkan ruang demi ruang itu, Garin juga merekam sebuah lanskap seni yang menarik di sekitar Prambanan, Borobudur, Gunung Merapi, dan Jogja. Ada unsur-unsur festival kampung Nitiprayan-Jomegatan, Sutanto Mendut, komunitas rupa The Daging Tumbuh (khususnya, gambar-gambar Eko Nugroho yang khas, dan salah satunya menjadi poster publikasi film ini), kelompok musik bambu Plaosan, dan sebagainya.
Yang jadi bintang dalam lanskap ini tentu saja Ismanto: pematung batu berperut buncit dan rambut ikal panjang, periang, ”sok tahu”, tulus bak kanak, berbaju kaos Superman. Dengan gaya dosen, Ismanto berceramah tentang ”Superman” –setiap manusia yang mampu melampaui keterbatasannya. Paling asyik saat menyimak omongannya tentang batu (betapa ia sering curhat pada batu, ingin jadi batu) dan tentang keasyikannya 5-6 jam melamun di sungai desanya setiap hari. Ketika muka Ismanto dengan gembira menceritakan bagaimana lamunan di sungai bisa memberi ilham, saya merasa terharu: itulah ”seniman”! Ia gembira oleh ilham berkarya, ia gembira ketika harus berkarya.
Sampai separuh film, saya diasyikkan dengan segala yang terjadi di layar, segala percakapan antarmusik, antartari, antargagasan tentang seni dan hidup dari orang-orang yang terlibat dalam perjalanan kolaborasi ini. Sampai tiba-tiba saya tersadar, yang bercakap-cakap bukan hanya yang terpampang di layar saja. Ada yang turut berdialog, tapi surut ke belakang: kamera.
Garin dan, lagi-lagi, Teoh Gay-Hian sebagai cameraman menggunakan kamera digital dan tak menonjol-nonjolkan diri. Dalam pertunjukan musik trio Mezzola-Geisser-Jones bersama ensambel Senoseni di Prambanan, misalnya, kamera hanya beroperasi secara dasariah (basic) belaka, seperti kamera TVRI merekam pertunjukan panggung. Baru di tengah-tengah, kehadiran kamera semakin terasa. Semakin terasa di bagian akhir, ketika dengan tiba-tiba kamera berfungsi sebagai alat foto, yang merekam wajah-wajah para seniman kampung itu dalam still life tanpa suara.
Padahal, dari awal sebetulnya medium film telah ikut bercakap-cakap dengan trio jazz dan perjalanan mereka di Jawa. Film dibuka dengan seorang penari merespon sehelai daun jati, di candi, ditingkah gasing yang mendengung sampai gambar menggelap dan bunyi sayup. Di bagian akhir, sang penari berjalan menari dalam senja di sebuah lapangan rumput. Berjalan pula beberapa seniman, termasuk Ismanto dengan kaos Superman dan jubah merah, berlari seolah anak kecil membayangkan terbang sebagai Superman.
Ketika adegan-adegan terakhir itu terpampang, pertanyaan tentang ”apakah film dokumenter?” menderas dalam diri saya. Garin dalam film ini bukan hanya hendak mendokumentasi kenyataan. Ia berambisi merekam kebenaran seni. Menurut saya, ia berhasil.
Selepas menonton, dalam acara 2nd Jogja Asian Film Festival (JAFF) Netpac, beberapa rekan seperti tak bisa menerima saya menyukai film ini. Mereka mencari-cari penjelasan mengapa saya bisa menyukai film yang ”menjemukan, berat, terlalu ’nge-art’, bikin ngantuk” ini. Sampeyan memang penggemar Garin, ya, tanya seseorang. Wah, salah besar, saya bilang. Saya pencela film-film Garin (dan pencela Garin juga). Oh, atau sampeyan memang senang jazz, ya? Lho, salah lagi, kata saya. Wong saya penggemar musik cadas, kok. Saya sampai nyaris merasa bersalah menyukai film ini –apa saya sedang elitis, sok nyeni?
Tapi saya tak bisa mengusir senyum saya sepanjang menonton film ini. Barangkali karena saya tidak merasa sedang menonton ”film seni”, tapi sedang menonton kebermainan para seniman kampung –termasuk si Garin itu.***
Source: rumahfilm.org


