![]() |
| Perilaku Seks Remaja |
Perilaku Seks Remaja
Perilaku Seks Remaja - Sebuah hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) UGM mengenai mitos seks di kalangan remaja cukup mengejutkan. Terjadi pergeseran pola pikir remaja terhadap seks yang makin permisif seperti dikutip dan dituturkan oleh Tadjudin Noer Effendi, Ph.D. staf ahli Menteri Tenaga Kerja yang juga pakar kependudukan. Misalnya ada pendapat remaja, "Bahwa untuk menjadi hamil maka harus mengalami orgasme ketika berhubungan seksual?" (Bernas, 4/5).
Dari hasil penelitian itu ternyata lebih dari 37,1 persen pria (semuanya 150-an responden) mengatakan setuju dan wanita yang bilang: Ya, 28,29 persen. Jelas ini keliru besar. Sebab asal si pria sudah berhasil menyemprotkan (maaf) spermanya, maka biar pun si wanita tidak orgasme, hamil bisa saja, 99 persen. Artinya, jumlah remaja yang percaya dengan takhayul seks itu cukup tinggi. Apalagi kalau ditambah jumlah mereka yang mengaku "tidak tahu" apakah untuk hamil perlu orgasme atau tidak (yaitu: pria 41,05 persen, wanita 42,75 persen). Jarak antara "tidak tahu" dengan "segera berbuat" sangatlah pendek. Lebih lagi remaja yang suka coba-coba, kurang pikir panjang.
Sebanyak 17,9 persen pria (3,4 persen wanita) membolehkan seks luar nikah asal "saling membutuhkan", mereka yang mengatakan boleh asal sudah "saling mencintai" pria 27,2 persen dan wanita 19,3 persen. Angka itu meningkat proporsinya kalau "sudah merencanakan pernikahan" yaitu pria 29,1 persen, wanitanya 16,6 persen.
Dari mana remaja mendapatkan "mitos sek-sual" semacam itu?, Jawabannya ternyata dari teman sebaya. Walaupun banyak remaja yang mendapat informasi mengenai seks, sayangnya sumbernya umumnya kurang akurat, tidak lengkap, hanya sepotong-potong. Informasi mengenai seks itu diperoleh dari teman itu tidak menjadi masalah, bila informasi yang disampaikan benar dan teman tersebut mempunyai moral serta budi pekerti atau akhlak yang baik. Tetapi apabila salah memilih teman, maka akibatnya bisa menjerumuskan. Kita juga tidak bisa menyalahkan begitu saja kepada remaja, mengapa mereka memilih teman untuk memperoleh informasi mengenai seks.
Karena kalau kita amati, di dalam pola kehidupan masyarakat perkotaan—termasuk Yogyakarta—yang semakin metropolis, semakin banyak orangtua yang hanya sibuk berkutat dengan pekerjaannya di kantor. Perhatian orangtua terhadap anak menjadi berkurang. Kesempatan melakukan dialog dengan anak, termasuk di dalamnya membicarakan mengenai seks, reproduksi, semakin sempit.
Sementara, tidak sedikit orangtua yang masih berpikir "kolot", menganggap tabu atau malu bicara soal seks atau reproduksi kepada anak-anaknya. Kurangnya perhatian orangtua menyebabkan remaja yang mempunyai sifat suka coba-coba, iseng, akan "lari" ke teman, film, majalah atau video porno yang akibatnya bisa terjebak pada perilaku seks bebas.
Mudahnya remaja sekarang terjerumus pa-da perilaku seks bebas juga disebabkan karena ketidaktahuan akan teori reproduksi yang benar. Banyaknya mitos-mitos mengenai "seks aman" yang banyak beredar di kalangan mere-ka seperti ditemukan oleh penelitian PPK UGM tersebut.
Dalam keluarga, peran ibu sebetulnya sangat menentukan, terutama terhadap pengenalan proses reproduksi remaja putri. Sebab untuk remaja putra biasanya setelah akil baliq akan "putus" hubungannya dalam membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan proses reproduksi atau seks. Larinya biasanya dengan teman sekolahnya atau teman sebaya.
Di sinilah pentingnya para remaja masuklah ke dalam kelompok-kelompok diskusi yang layak dipercaya seperti Sahaja-PKBI, Rifka Annisa atau lembaga sejenis supaya dapat informasi yang jelas mengenai proses reproduksi. Juga dengan bergaul dengan banyak orang (grup kajian). Kita membutuhkan cara- cara sosialisasi masalah reproduksi yang lebih canggih agar remaja bisa lebih rasional dan bertanggung jawab dalam menatap masalah seksualitasnya.
Masalah-masalah permisifme seks itu sulit diberantas jika orang hanya sibuk meributkan asap, sementara api penyebabnya sendiri di-biarkan. Seperti teve-teve kita, apakah mereka sudah bekerja di bawah kontrol konsep strategi kebudayaan yang jelas? Teve kita terlalu menjadi kepanjangan kaum kapitalis, dan su-guhan kulturalnya masih lips service belaka. Teve dan iklan-iklannya dibiayai lebih dari 3 trilyun dana global, sementara dana pendidikan kita masih amatiran, sulit kalau kita memimpikan perbaikan sosial.
Justru di sinilah masalahnya. Persoalan yang paling berat dari struktur sekarang ini adalah, efektivitas keluarga dalam membentuk "keken- talan nilai" kalah jauh dengan efektivitas teve membuat "cair" terhadap struktur pengetahuan kita. Buktinya, remaja banyak yang tidak takut mengam- bil seks "jalan tol" di luar nikah karena mereka yakin, tokh kondom gampang dibeli!.
Solusi terbaik agaknya kembali ke solusi agama. Tetapi ini tidak mudah memang.

