Terbuai Angin Rumput Sabana
![]() |
| Sabana Sumbawa |
Alamnya cenderung gersang memang. Tetapi ada kesan tersendiri menelusuri Pulau Sumba yang terkenal dengan kuda liar dan susunya itu. Sambil melakukan tugas survai hidrologi di bulan Juli 1998, H. Radhi Sinaro menyempatkan diri merasakan buaian angin sabana. Alam yang didominasi padang rumput maha luas dan bergelombang agaknya mampu melupakan hantu krismon.
Pesawat Fokker 27 MZ 6554 yang saya tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Mauhau, Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur. Ini merupakan kunjungan pertama saya. Sebelumnya, 10 tahun yang lalu saya sering transit di sini dalam perjalanan bolak-balik Dili - Kupang. Waktu itu bandaranya masih tergolong perintis dengan landas pacunya yang juga masih berupa rumput.
Sebagai ibu kota, Waingapu cukup luas dan ramai. Rumah-rumah berhalaman luas dan penuh tanaman. Jalan-jalan sudah beraspal. Tampaknya kota ini sedang berkembang pesat, ditandai dengan aktivitas pembangunan rumah, kantor, dan toko. Tak heran kalau toko bahan bangunan menjamur.
Pintar main catur
Setelah menginap dua malam di Waingapu, saya meneruskan perjalanan ke tempat tujuan, yaitu Desa Maidang, 40 km sebelah barat Waingapu. Desa ini terletak di Kecamatan Tabundungu dan merupakan desa tertinggal yang baru terbuka dari keterisolasiannya karena pembangunan jalan rayanya baru selesai bulan April 1998 yang lalu. Jalan itu sendiri belum semuanya beraspal, terutama di bagian ujung menjelang sampai Desa Maidang.
Penduduk Desa Maidang tidak lebih dari 100 KK atau + 600 jiwa. Kalau di Jawa mungkin penduduk sebanyak itu teradministrasi dalam satu RT. Dengan penduduk sebanyak itu, kerapatan penduduk rendah sekali. Oleh sebab itu, tetangga terdekat bisa berjarak 0,5 - 2,5 km.
Bentuk rumah masih didominasi rumah tradisional, berupa rumah panggung kayu dengan tinggi 1 m dan beratap ilalang. Satu rumah biasanya dihuni lebih dari satu KK. Rumah panggung itu memang sesuai dengan iklim setempat yang panas menyengat di siang hari dan dingin menggigit di malam hari. Selain itu juga berfungsi meredam tiupan angin yang kencang. Di sinilah pula, Garin Nugroho mengungkapkan ketertarikannya pada alam Sumba dalam film Bulan Tertusuk Ilalang (1997).
Kekerabatan di antara penduduk sangat kental, nyaris semuanya saling mengenal satu sama lain. Salah satu buktinya, jika ada yang meninggal, semua penduduk ikut melayat. Mereka sangat ramah, suka menolong, dan tidak pernah curiga terhadap pendatang.
Mata pencaharian penduduk adalah bertani jagung dan tanaman tumpang sari serta sayuran di sekeliling rumah. Selain itu mereka juga memelihara sapi, kambing, babi, dan ayam. Satu hal yang unik, setiap laki-laki dewasa dan anak sekolah pandai main catur. Mereka belajar hanya dari melihat atau diajari langkah-langkah dasarnya. Setelah satu minggu berlatih, mungkin bisa mengalahkan gurunya. Kita berharap, dari sini lahir pengganti GM Utut Adianto, pecatur nasional yang cukup disegani di kalangan pecatur internasional.
Baik penduduk lelaki maupun perempuan dewasa umumnya pemakan sirih. Walaupun warna gigi menjadi kemerah-merahan kurang sedap dipandang, mereka tidak mengenal sakit gigi. Begitu menyatunya kebiasaan mmenyirih ini dengan kehidupan mereka, maka jangan kaget jika bertandang ke sana akan disuguhi sekapur sirih. Kalau Anda mau menginap pun mereka tak akan menolaknya dan menyediakan beranda depan sebagai tempat peraduan.
Setelah dibukanya jalan baru, akses ke Desa Maidang menjadi lebih cepat. Dulu bisa memakan waktu 14 jam karena alat transportasi yang memungkinkan hanyalah kuda. Jalannya mendaki dan menurun terjal. Setelah ada jalan baru, waktu tempuhnya menjadi hanya sekitar tiga jam. Itulah yang saya butuhkan untuk mencapai ke sana untuk tugas survai dengan menggunakan truk carteran berpenggerak empat roda. Rasanya, truk jenis ini pilihan tranportasi yang ideal. Soalnya, meski jalan baru, belum semuanya bertutupkan aspal.
Menggunakan motor besar bisa jadi alternatif. Bagi yang hobi moge (motor gede) tentu jalur ini menjadi menarik. Desa Maidang juga bisa ditempuh melalui jalan air. Namun masih harus berjalan kaki kurang lebih tujuh jam dari pangkalan perahu ke Desa Maidang.
Gong di dasar kolam
Sungai yang kami survai ketika itu Sungai Kambaniru, sungai terbesar di Pulau Sumba. Tidak pernah kering walau musim kemarau sekalipun. Penduduk menggunakannnya sebagai sumber air bersih. Airnya memang sangat jernih, terbukti dari jarak 30 m dari tebing sungai, dasar sungai masih terlihat dengan jelas.
Topografi sungai itu sangat bervariasi. Ada bagian dangkal jika Anda hanya ingin sekadar berendam. Untuk yang suka terjun bebas ada lubuk yang ideal. Sungai ini juga memiliki arus deras bagi yang ingin berenang dengan tantangan. Tapi jangan kecewa jika Anda sudah berenang sekuat tenaga selama lima menit, ternyata hanya maju dua meteran. Di sinilah saya bisa menikmati enaknya mandi di sungai dua kali sehari.
Menurut penduduk sekitar, sungai ini banyak ikannya tetapi jarang menampakkan diri. Meski demikian, kearifan dalam mengelolanya patut dipuji. Mereka lebih suka menombak ikan sambil menyelam atau memancingnya daripada menjala, misalnya. Saya sempat menyaksikan sendiri bagaimana mereka memburu seekor ikan mas, menggiringnya ke tempat yang dangkal, dan kemudian baru menangkapnya. Ikan mas itu beratnya lebih dari 2 kg.
Sungai bukanlah satu-satunya tempat yang bisa mendinginkan tubuh kita. Masih ada air terjun. Bahasa setempat menyebutnya kolat. Ada dua air terjun, yang satu tingginya 7 m dan satunya 5 m. Air terjun ini melewati batuan kapur keras berwarna abu-abu. Kedalaman air di bawah terjunan bisa mencapai 7 m, sementara di samping dan bagian tengahnya terdapat perbukitan setinggi 10 m. Jadi, sangat ideal untuk terjun menara.
Konon kabarnya, di dasar lubuk itu ada gong yang akan berbunyi jika terjadi bencana alam atau kematian raja atau pemimpin. Gaungnya bisa terdengar sampai ke seantero Pulau Sumba. Kedua air terjun yang indah ini kelak akan tenggelam jika sebuah bendungan untuk PLTA (Pusat Listrik Tenaga Air) jadi dibangun di hilirnya setinggi 80 m.
Surga kaum burung
Sumba adalah surga sabana, padang rumput yang sangat luas. Hampir 90% wilayahnya tertutup oleh sabana. Di sana-sini terlihat bunga liar yang indah berwarna-warni. Sisanya, wilayah Sumba tertutup oleh hutan yang hanya terdapat pada lembah-lembah sungai yang berair.
Namun, di dalam hutan yang relatif tidak luas itu tersimpan keanekaragaman burung yang tinggi. Ada kakatua, nuri, burung dara hutan, bayan warna-warni, gagak, srigunting, tekukur, perkutut, elang, rangkop, cendrawasih jenis kecil, burung malam (sejenis burung hantu), berbagai jenis pipit (orang setempat menyebutnya manginu), sampai burung maleo yang gagal menjadi salah satu simbol mobnas.
Keanekaragaman burung ini barangkali hanya bisa disaingi oleh Sulawesi, yang sudah terkenal dengan sebutan "Island of Birds". Untung saya membawa teropong sehingga bisa menyaksikan berbagai keindahan burung yang ada. Ke mana pun kaki melangkah, iringan kicau burung selalu keluar dari hutan yang kecil. Sayang sekali, dalam hal perlindungan, burung layak iri dengan ikan-ikan penghuni di Sungai Kambaniru. Masih ada orang yang menjerat dan menembak burung untuk dikonsumsi.
Dengan padang yang terhampar luas di pulau ini, saya memperoleh pengalaman lain. Jika bosan tidur di tenda, saya mencoba tidur di luar beratapkan langit. Pada musim kemarau, langit bersih tanpa awan meski angin dingin dari Australia "menghangatkan" kita.
Langit yang jernih memberi kesempatan untuk menikmati gemerlapnya bintang gemintang. Terus terang, saya baru pertama kali ini menyaksikan pemandangan sejernih ini. Sampai-sampai, hanya dalam tiga jam saya pernah menyaksikan 19 kali bintang jatuh melintasi cakrawala sebelum kemudian padam. Saya jadi berpikir, betapa atmosfer diciptakan untuk melindungi manusia. Coba kalau bintang-bintang yang jatuh itu tidak hangus dan hancur oleh atmosfer, akan seperti apa bumi dihantam berkali-kali oleh benda-benda langit itu.
Kejernihan langit terasa bertambah syahdu mana kala ada seorang teman penggemar jangkrik yang menangkap seekor dan memasukkannya ke dalam ruas bambu penyangga tenda kami. Tak henti-hentinya ia mengerik, mendendangkan harmoni laksana musik klasik. Saya berpikir, kok tidak ada capek-capeknya berbunyi sepanjang malam. Apakah karena dikurung jangkrik-jangkrik itu tersiksa dan kerikan itu manifestasinya? Atau mereka sedih berpisah dengan pasangannya di alam bebas?
Pisang seratus perak
Sebelum ke lapangan, rekan-rekan menganjurkan kami untuk membawa bahan makanan dan perlengkapan masak secukupnya. Yang paling praktis untuk lauk pauk, ya, mi cepat saji. Ternyata, di lapangan memang cocok. Ia bisa dikawinkan dengan sayuran dan ikan apa saja, seperti ikan teri, ikan asin, sayur bayam, daun ketela pohon, daun ubi jalar, kacang panjang, jagung muda, dll. Mungkin karena tidak ada pilihan lain, semuanya terasa enak.
Suatu ketika kami kehabisan beras karena pasokan dari Waingapu terlambat. Saya kemudian berusaha mencari ke pasar tradisional, orang setempat menyebutnya Pasar Kompleks Maidang, yang buka setiap Sabtu. Jauhnya satu jam dengan berjalan kaki. Mengambil tempat di bawah pohon yang rindang, pasar itu membuat saya kecele.
Bagaimana tidak! Saya ke pasar pas sedang "ramai-ramainya", yakni pukul 11.00. Ternyata keramaian itu hanya dihadiri oleh pembeli dan penjual yang berjumlah tidak lebih dari 30 orang. Yang dijual gula, garam, sabun, benang jahit, rokok, tembakau, kelengkapan makan sirih, batu baterai, baju anak-anak bekas, kacang rebus, dan pisang. Harga-harganya sangat murah kalau dibandingkan dengan di Jawa, apalagi di kota besarnya. Pisang batu yang biasa direbus atau digoreng sesisir kecil harganya Rp 100,- dan sesisir besar Rp 500,-. Kalau beli setandan bisa tawar-menawar antara Rp 1.000,- - Rp 1.500,-.
Ada juga pisang susu dan pisang raja. Jika di Bogor biasanya kecil-kecil, di Sumba pisang susu bisa sebesar pisang ambon diameternya. Saya bertanya kepada pedagang yang biasanya menjual mi cepat saji, kenapa tidak menjualnya lagi. "Harganya terlalu mahal. Tidak terbeli oleh penduduk sini. Buat apa?" jawabnya.
Pedagang yang sudah habis dagangannya juga membeli kebutuhan pokoknya untuk seminggu di pasar itu. Tidak dapat makanan pokok, saya membeli pisang dan kacang rebus. Saya pikir cukup untuk makan siang rombongan kami yang berdelapan orang.
Krismon terlupakan
Makan malam akhirnya bermenu nasi jagung dari seorang penunggang kuda yang mencarikannya. Menurut Pak Munadi, seorang tukang dari Jawa Timur yang sudah lama bermukim di Pulau Sumba, jika beras dan jagung dicampur dengan perbandingan 2/3 : 1/3, maka rasa yang dominan adalah beras. Namun kalau campurannya 1/2 : 1/2 atau kurang, maka rasa yang dominan adalah jagung.
Apa yang dia katakan ternyata benar. Kami berdelapan makan malam dengan lahapnya hanya bertemankan sayur tumis daun ketela rambat. Kami bahkan menghabiskan 1,5 kg beras jagung sekali makan. Selain itu, dengan perbandingan 2/3 beras dan 1/3 jagung, nasinya berasa seperti beras Cianjur. Lebih dari itu, nasi jagung lebih tahan lama di perut. Sesuai dengan pengakuan Pak Munadi yang sudah 15 tahun menjadi tukang, makan nasi jagung cukup sekali sehari akan tetap kuat bekerja.
Sungguh sederhana Pak Munadi ini. Ternyata ia tidak sendiri. Seorang tukang lainnya, Paulus, berujar, "Sehabis proyek survai ini saya akan kembali ke desa di Sumba Barat. Di desa, biar tidak ada uang, selalu ada yang bisa dimakan asal mau menanam. Kami di Sumba masih kelebihan lahan untuk ditanami apa saja! Krismon hanya ada di kota yang segalanya harus pakai uang, uang, dan uang. Berapa pun tidak akan cukup!"
Sebelum pulang ke Bandung, saya sempat menginap lagi di Hotel Kaliuda, Waingapu. Hotel ini lebih mirip guest house. Namun pelayanan yang diberikan membuat hotel ini seperti rumah saudara. Bagaimana tidak! Pemilik hotel menganggap tamu yang menginap adalah keluarganya. Ke mana kita akan pergi, pasti ada yang mengantar. Entah ke pasar, ke kantor pos, potong rambut, atau kalau perlu ke daerah tujuan wisata.
Yang khas di sini adalah halaman samping dan belakang hotel penuh dengan tanaman buah-buahan. Pisang, belimbing, buah nona, kelapa, alpokat, mangga, dan jeruk menghampar di halaman yang luas itu. Sebagai "keluarga", penghuni hotel boleh memetik buah, asal sudah matang. Tinggal rezeki kita saja, pas musim buah apa saat kita tinggal di hotel ini. Hanya yang perlu diingat, jika memetik buah harus berbagi dengan monyet peliharaan yang berkandang di kebun itu.
Usai survai, akhirnya saya kembali ke Bandung melalui Denpasar dengan menumpang pesawat Merpati Fokker 27 MZ 6555. Di atas pesawat pikiran saya segera terusik oleh krisis yang masih melanda. Segera muncul daftar-daftar pembayaran, seperti biaya sekolah anak-anak di awal tahun ajaran baru, rekening listrik dan air yang akan dinaikkan, asuransi, serta berbagai usaha yang merugi.
Ketika harus menengok ke belakang, selama survai yang hampir 20 hari itu, hati saya agak terhibur. Krismon terlupakan dan hidup terasa manis untuk direguk di alam bebas, tanpa gangguan deringan telepon, berita TV dan koran, serta isu yang tidak karuan. Andai saja bisa meniru falsafah Paulus, si tukang proyek, tadi

